Kemudian Hizkia berkata kepada Yesaya: "Firman yang oleh TUHAN engkau sampaikan itu baik, sebab dalam pikiranku ada sejahtera dan kesentosaan, asal aku hidup."
Kisah yang tercatat dalam Yesaya pasal 39 membawa kita pada momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat kelima, yang berbunyi "Kemudian Hizkia berkata kepada Yesaya: 'Firman yang oleh TUHAN engkau sampaikan itu baik, sebab dalam pikiranku ada sejahtera dan kesentosaan, asal aku hidup'," mencerminkan respons seorang raja terhadap nubuat yang serius.
Peristiwa ini terjadi ketika Hizkia, raja Yehuda, sedang dalam masa pemulihan setelah sakit keras. Utusan dari Babel datang mengunjunginya, membawa hadiah dan pertanyaan mengenai keajaiban kesembuhan yang dialaminya. Dalam kesempatan tersebut, Hizkia, dalam kebanggaan atau mungkin ketidaktahuan akan implikasi yang lebih luas, memamerkan semua harta dan kekayaannya kepada para utusan Babel. Ia menunjukkan gudang-gudangnya yang penuh perhiasan, perak, emas, rempah-rempah, minyak, dan segala macam benda berharga.
Menanggapi tindakan Hizkia ini, nabi Yesaya datang kepadanya dan menyampaikan pesan dari Tuhan. Pesan ini bukanlah berita gembira, melainkan sebuah peringatan keras. Yesaya menubuatkan bahwa semua yang dimiliki Hizkia, termasuk harta benda dan keturunannya, akan dibawa ke Babel. Ini adalah konsekuensi langsung dari tindakan Hizkia yang tidak bijaksana, yang telah menunjukkan kekuatan dan kekayaan Yehuda kepada bangsa yang kelak akan menjadi penakluk.
Namun, ayat kelima yang menjadi fokus artikel ini menunjukkan sudut pandang Hizkia. Ketika Yesaya menyampaikan nubuat kehancuran tersebut, respons Hizkia bukanlah penolakan atau kemarahan, melainkan penerimaan dengan syarat. Ia berkata, "Firman yang oleh TUHAN engkau sampaikan itu baik, sebab dalam pikiranku ada sejahtera dan kesentosaan, asal aku hidup." Frasa "asal aku hidup" ini sangatlah penting. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Hizkia, yang terpenting adalah keselamatan pribadinya dan kedamaian selama masa hidupnya. Ia tampaknya lebih fokus pada kenyamanan dan keamanan saat ini, daripada memikirkan konsekuensi jangka panjang bagi kerajaannya dan keturunannya.
Tanggapan Hizkia ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara. Di satu sisi, ada unsur kerendahan hati dalam menerima firman Tuhan, meskipun itu adalah berita buruk. Ia tidak menyalahkan nabi atau Tuhan. Namun, di sisi lain, respons ini juga menunjukkan keterbatasan pandangannya yang sangat pribadi. Ia mengutamakan "kesejahteraan dan kesentosaan" dirinya sendiri, sebuah sikap yang kontras dengan tanggung jawab seorang pemimpin yang seharusnya memikirkan kelangsungan hidup bangsanya secara keseluruhan.
Nubuat ini akhirnya menjadi kenyataan. Beberapa waktu kemudian, Kerajaan Babel memang menyerbu Yerusalem, menjarah bait Allah, dan membawa banyak orang Yehuda ke pembuangan, termasuk keturunan Hizkia. Kisah ini menjadi pelajaran penting tentang bahaya kesombongan, ketidaktahuan, dan fokus yang egois, bahkan di kalangan pemimpin rohani dan politik. Pesan dari Yesaya 39:5 mengingatkan kita untuk selalu melihat gambaran yang lebih besar, memikirkan dampak tindakan kita tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada generasi mendatang dan pada kehendak Tuhan bagi umat-Nya.