Kejahatan Menghalangi Berkat

Yesaya 57:17

"Karena kelaliman keserakahannya itu, Aku menjadi murka, Aku memukulnya, Aku menyembunyikan wajah-Ku dalam murka-Ku; tetapi ia terus saja berlaku murtad, mengikuti kehendak hatinya."

Dampak Kebejatan dan Keserakahan

Ayat ini dari Kitab Yesaya, pasal 57, ayat 17, dengan tegas menggambarkan murka Allah terhadap dosa umat-Nya, khususnya yang berkaitan dengan keserakahan dan kelaliman. Frasa "kelaliman keserakahannya itu" menunjuk pada praktik-praktik yang tidak adil, ketidakjujuran, dan penindasan yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam konteks sejarah Israel, hal ini seringkali merujuk pada penyembahan berhala, penyelewengan dalam keadilan, dan pengabaian terhadap hukum Tuhan demi kepuasan diri.

Respons Allah terhadap dosa ini bukanlah ketidakpedulian. Sebaliknya, ayat ini menyatakan, "Aku menjadi murka, Aku memukulnya, Aku menyembunyikan wajah-Ku dalam murka-Ku". Ini menunjukkan bahwa Allah tidak mentolerir kejahatan dan bahwa tindakan-Nya adalah bentuk koreksi dan penghukuman. "Memukulnya" bisa diartikan sebagai berbagai bentuk kesulitan dan bencana yang menimpa umat yang berdosa. Sementara itu, "menyembunyikan wajah-Ku" mengindikasikan bahwa Allah menarik hadirat-Nya, meninggalkan mereka untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka, sebuah kondisi yang jauh lebih mengerikan daripada hukuman fisik.

Kerasnya Hati dan Ketidaktaatan yang Berkelanjutan

Namun, yang lebih menyedihkan adalah respons umat terhadap tindakan ilahi tersebut. Ayat ini melanjutkan dengan, "tetapi ia terus saja berlaku murtad, mengikuti kehendak hatinya." Meskipun telah mengalami pukulan dan merasakan ketiadaan hadirat Allah, mereka tidak bertobat. Sebaliknya, mereka semakin tenggelam dalam "kemurtadan", yaitu pengkhianatan terhadap perjanjian dengan Allah, dan terus mengikuti "kehendak hatinya" yang memberontak.

Ini adalah gambaran dari hati yang keras dan ketidaktaatan yang persisten. Keserakahan dan kelaliman telah membutakan mereka terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka lebih memilih jalan mereka sendiri daripada jalan Allah, bahkan ketika jalan itu membawa mereka pada kehancuran. Penolakan untuk bertobat ini menunjukkan kegagalan untuk belajar dari pengalaman, sebuah siklus dosa yang terus berulang.

Pesan dalam Yesaya 57:17 ini tetap relevan hingga kini. Keserakahan dalam berbagai bentuknya—materi, kekuasaan, atau pengakuan—masih menjadi akar dari banyak masalah dalam masyarakat. Ketika individu atau kelompok mengutamakan keuntungan pribadi di atas prinsip moral dan etika, mereka membuka diri terhadap murka ilahi dan konsekuensi yang menyakitkan. Lebih penting lagi, ayat ini mengingatkan kita akan bahaya hati yang keras dan penolakan terhadap teguran ilahi. Pertobatan sejati membutuhkan pengakuan dosa, penyesalan, dan kemauan untuk mengubah arah hidup, menundukkan kehendak pribadi kepada kehendak Sang Pencipta yang adil dan penuh kasih.