Kisah yang tercatat dalam Injil Yohanes pasal 9 merupakan salah satu narasi paling menyentuh tentang kuasa penyembuhan dan interaksi ilahi dengan manusia. Ayat ke-13 ini menjadi jembatan penting dalam cerita, menandai transisi dari momen mukjizat itu sendiri ke serangkaian pemeriksaan dan perdebatan yang mengikuti.
Yesus melihat seorang pria yang telah buta sejak lahir. Bagi banyak orang di zaman itu, kondisi seperti ini seringkali dianggap sebagai hukuman dosa, baik dosa orang tua maupun dosa dirinya sendiri. Namun, Yesus memutarbalikkan pemikiran umum tersebut. Ia menyatakan bahwa kebutaan orang itu terjadi agar pekerjaan Allah dapat dinyatakan di dalamnya. Ini adalah perspektif yang radikal: penderitaan bukan selalu tanda kutukan, tetapi bisa menjadi kanvas bagi kuasa ilahi untuk bekerja.
Yesus kemudian meludah ke tanah, membuat bubur dari ludah-Nya dan mengoleskannya pada mata orang buta itu. Ia menyuruh orang itu untuk pergi membasuh diri di kolam Siloam. Ketika orang itu melakukannya, ia pulang dengan mata terbuka dan dapat melihat. Ini adalah mukjizat yang luar biasa, bukti nyata dari otoritas dan kasih Yesus.
Ayat Yohanes 9:13 menyebutkan bahwa orang yang tadinya buta itu kemudian dibawa kepada orang-orang Farisi. Ini bukanlah langkah sukarela dari orang yang baru saja menerima penglihatan, melainkan sebuah tindakan yang kemungkinan besar didorong oleh rasa ingin tahu, ketakutan, atau bahkan kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya. Orang-orang Farisi adalah tokoh agama terkemuka yang sangat ketat dalam memelihara hukum Taurat, termasuk hukum Sabat.
Membawa orang yang sembuh ini kepada mereka menunjukkan bahwa mukjizat tersebut telah menjadi topik pembicaraan yang hangat. Namun, bagi orang Farisi, penyembuhan di hari Sabat adalah pelanggaran yang serius. Mereka tidak langsung takjub dan memuji Tuhan, melainkan memulai penyelidikan. Mereka ingin tahu bagaimana penyembuhan itu terjadi dan, yang terpenting, siapa yang melakukan mukjizat itu.
Percakapan yang terjadi kemudian antara orang yang disembuhkan dan orang Farisi sangatlah dramatis. Orang yang tadinya buta itu dengan tegas menyatakan bahwa Yesus adalah seorang nabi, dan kemudian, semakin berani, menyatakan bahwa Dia adalah Mesias. Pengakuan iman yang terus berkembang dari orang ini menjadi kontras yang mencolok dengan ketidakpercayaan dan keras kepala orang Farisi.
Kisah Yohanes 9:13 dan peristiwa di sekitarnya mengajarkan banyak hal. Pertama, mukjizat Yesus tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga rohani. Ia membuka mata orang yang buta, tetapi juga membuka mata banyak orang terhadap kebenaran tentang diri-Nya. Kedua, kita seringkali dihadapkan pada keraguan dan penolakan ketika kebenaran ilahi diungkapkan. Sejarah penuh dengan contoh orang-orang yang berusaha mencari penjelasan rasional atau bahkan menolak keajaiban, karena hal itu bertentangan dengan pemahaman atau keyakinan mereka.
Kisah ini juga menekankan pentingnya pengakuan iman. Orang yang tadinya buta, meskipun awalnya tidak tahu siapa Yesus, terus bertumbuh dalam pengenalannya dan berani bersaksi tentang apa yang telah dialaminya. Ini adalah panggilan bagi kita untuk tidak malu mengakui perbuatan baik Tuhan dalam hidup kita, bahkan ketika menghadapi pertanyaan atau tantangan.
Di tengah dunia yang seringkali penuh dengan ketidakpastian dan kegelapan rohani, kisah penyembuhan orang buta sejak lahir mengingatkan kita bahwa Yesus memiliki kuasa untuk membawa terang dan pemulihan. Ia tidak hanya menyembuhkan kebutaan fisik, tetapi juga dapat menyembuhkan kebutaan rohani, membuka hati kita untuk memahami kebenaran-Nya dan melihat dunia dengan cara yang baru.
Peristiwa yang diawali dengan orang yang dibawa kepada orang Farisi ini terus berlanjut menjadi kesaksian yang kuat tentang identitas Yesus dan bagaimana kuasa-Nya bekerja dalam kehidupan manusia, melampaui batas-batas pemahaman dan prasangka manusia.