Yohanes 9:18 - Mukjizat Penyembuhan Buta

"Orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya orang itu buta, lalu menjadi dapat melihat. Maka mereka memanggil orang tua yang sudah pernah melihat orang itu tadinya buta."
Simbol mata terbuka

Kisah dalam Injil Yohanes pasal 9 mencatat salah satu mukjizat paling menggugah iman: penyembuhan seorang pria yang buta sejak lahir oleh Yesus. Kejadian ini bukan sekadar demonstrasi kekuatan ilahi, melainkan sebuah peristiwa yang memicu perdebatan sengit, keraguan, dan akhirnya kesaksian yang tak terbantahkan. Ayat ke-18 dari pasal ini secara khusus menyoroti reaksi keras dari para pemimpin agama Yahudi terhadap mukjizat tersebut. Mereka, yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran dan hikmat rohani, justru terperosok dalam ketidakpercayaan yang mendalam.

Kebutaan yang dialami pria itu adalah kondisi yang dikenali oleh banyak orang di komunitasnya. Ia adalah sosok yang biasa terlihat di sekitar Bait Allah, pengemis yang hidup dari belas kasihan orang lain. Ketika Yesus menyembuhkannya dengan cara yang tidak lazim, yaitu dengan meludah membuat tanah liat dan mengoleskannya ke mata orang itu lalu menyuruhnya pergi membasuh diri di kolam Siloam, kehebohan pun terjadi. Kemampuan melihat yang tiba-tiba datang bagaikan fajar menyingsing setelah kegelapan abadi adalah bukti nyata dari kuasa Yesus.

Namun, alih-alih bersukacita dan memuliakan Allah atas pemulihan ini, para Farisi dan ahli Taurat justru menunjukkan sikap yang aneh. Mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa orang yang mereka kenal sebagai seorang buta kini bisa melihat. Ini bukan sekadar pertanyaan tentang identitas, tetapi lebih dalam lagi, ini adalah penolakan terhadap Yesus dan cara kerja-Nya. Jika Yesus, yang mereka anggap sebagai pelanggar hukum Sabat dan bukan utusan Allah, mampu melakukan mukjizat sebesar itu, maka tatanan keyakinan mereka akan runtuh.

Untuk memuaskan keraguan mereka yang dibuat-buat, mereka memanggil orang tua dari pria yang disembuhkan. "Orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya orang itu buta, lalu menjadi dapat melihat. Maka mereka memanggil orang tua yang sudah pernah melihat orang itu tadinya buta." Harapan mereka mungkin adalah agar orang tua itu menyangkal mukjizat itu, atau setidaknya memberikan penjelasan yang dapat mereka manipulasi. Namun, justru melalui kesaksian orang tua itulah kebenaran semakin terungkap.

Orang tua itu dengan tegas menyatakan bahwa pria yang sekarang bisa melihat adalah anak mereka, dan bahwa anak mereka memang dilahirkan buta. Ketika ditanya bagaimana ia bisa melihat, mereka dengan hati-hati menjawab, "Kami tahu, bahwa ini anak kami, dan bahwa ia lahir buta; tetapi bagaimana sekarang ia dapat melihat, kami tidak tahu, atau siapa yang membuat dia melihat, kami tidak tahu. Tanyakanlah kepadanya, ia sudah dewasa, ia dapat bicara tentang dirinya sendiri." Mereka sadar akan bahaya yang mengintai jika mereka mengaitkan kesembuhan itu dengan Yesus, karena pada masa itu ada peraturan bahwa siapa pun yang mengakui Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan. Sikap orang tua ini menunjukkan adanya ketakutan dan tekanan sosial, namun di sisi lain, mereka tidak dapat menyangkal kebenaran yang paling mendasar: anak mereka telah disembuhkan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa kebenaran seringkali menghadapi perlawanan dari pihak-pihak yang merasa terancam olehnya. Ketidakpercayaan seringkali bukanlah karena kurangnya bukti, melainkan karena keengganan untuk menerima implikasinya. Yohanes 9:18 menjadi saksi bisu tentang benturan antara otoritas rohani yang seharusnya, dan penolakan terhadap kuasa Allah yang bekerja di luar bingkai pemahaman mereka. Mukjizat itu sendiri adalah kekuatan yang luar biasa, tetapi reaksi manusia terhadapnya mengungkapkan lebih banyak tentang hati manusia itu sendiri.