Yohanes 9:40

Beberapa orang Farisi yang bersama-sama dengan Dia mendengar perkataan itu lalu berkata kepada-Nya: "Apakah kami ini juga buta?"

Terang Sejati

Ayat Yohanes 9:40 membawa kita pada momen dialog yang sangat penting dan menyentuh hati di tengah-tengah pelayanan Yesus. Perkataan Yesus ini muncul sebagai respons terhadap sebuah situasi di mana Ia baru saja menyembuhkan seorang pria yang buta sejak lahir. Peristiwa penyembuhan ini bukan sekadar mukjizat fisik, melainkan sebuah ilustrasi yang kuat tentang keadaan rohani manusia. Ketika orang-orang Farisi yang hadir melihat manifestasi kuasa Yesus, pertanyaan mereka mencerminkan sebuah penolakan terselubung terhadap klaim keilahian-Nya. Mereka bertanya, "Apakah kami ini juga buta?" Pertanyaan ini, di permukaan, mungkin tampak seperti pencarian kebenaran atau sekadar rasa ingin tahu. Namun, di balik itu, tersimpan sebuah ego dan kebanggaan intelektual yang tidak mau mengakui keterbatasan diri.

Buta Fisik vs. Buta Rohani

Yesus, dalam kebijaksanaan-Nya yang ilahi, sering menggunakan perumpamaan dan realitas fisik untuk menjelaskan kebenaran rohani. Dalam konteks ini, Ia sedang berbicara tentang "kebutaan rohani". Orang Farisi, yang menganggap diri mereka sebagai pemimpin spiritual dan penjaga hukum Taurat, merasa bahwa mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang Allah. Mereka bangga akan pengetahuan mereka, namun justru pengetahuan dan kesalehan lahiriah mereka membuat mereka buta terhadap kehadiran dan kebenaran Yesus yang sebenarnya. Mereka mampu melihat secara fisik, namun hati mereka tertutup terhadap terang ilahi yang ditawarkan oleh Sang Juruselamat.

Yesus kemudian melanjutkan dialog ini dengan sebuah pernyataan yang sangat mendalam, sebagaimana tercatat dalam ayat-ayat berikutnya (meskipun tidak diminta untuk disertakan secara eksplisit di sini). Intinya, Ia menyatakan bahwa mereka yang mengakui kebutaan mereka akan diberi penglihatan, sementara mereka yang mengklaim sudah melihat justru tetap buta. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang merasa sudah mencapai titik puncak pemahaman rohani dan menolak untuk menerima kebenaran baru yang mungkin datang dari sumber yang tidak terduga. Kebutaan rohani adalah kondisi yang lebih berbahaya daripada kebutaan fisik, karena ia menutup pintu menuju keselamatan dan pengenalan akan Allah.

Mengakui Kebutuhan Kita

Pelajaran utama dari Yohanes 9:40 dan konteks sekitarnya adalah pentingnya kerendahan hati dalam pencarian kebenaran ilahi. Seringkali, kita cenderung seperti orang Farisi, merasa sudah cukup tahu atau terlalu bangga untuk mengakui bahwa kita memiliki kekurangan atau membutuhkan bimbingan. Kita mungkin sibuk dengan ritual keagamaan, ajaran-ajaran doktrinal, atau pemahaman filosofis tentang Tuhan, tetapi jika hati kita tidak terbuka untuk menerima Yesus Kristus sebagai Terang Dunia, maka kita tetap berada dalam kegelapan. Kebutaan rohani ini bisa muncul dalam berbagai bentuk: kesombongan, keangkuhan, prasangka, atau ketidakmauan untuk berubah.

Dialog ini mendorong kita untuk merefleksikan kondisi rohani kita sendiri. Apakah kita benar-benar "melihat" Kristus, ataukah kita hanya melihat-Nya sebagai seorang nabi, seorang guru moral, atau tokoh sejarah? Apakah kita menerima Dia sebagaimana Dia menyatakan diri-Nya, yaitu Anak Allah yang datang untuk menebus dosa dunia? Jika kita merasa diri kita "terang" dan tidak membutuhkan lagi, maka kita mungkin berada dalam bahaya terbesar. Sebaliknya, jika kita dengan tulus mengakui bahwa kita membutuhkan pengampunan, bimbingan, dan terang dari Kristus, maka kita membuka diri untuk mengalami pemulihan rohani yang sesungguhnya. Jawaban Yesus kepada orang Farisi dalam konteks ini adalah sebuah panggilan abadi bagi setiap jiwa untuk merenungkan di mana kita berdiri dalam hubungan kita dengan Dia yang adalah terang dunia.