"Juga kamu harus berkata kepada mereka: Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Dahulu kala nenek moyangmu diam di seberang sungai Efrat dan beribadah kepada ilah-ilah lain; tetapi Aku membawa nenek moyangmu menyeberang sungai Efrat dan memberi mereka seluruh tanah Kanaan untuk diduduki; Aku akan menjadi Allahmu."
Ayat Yosua 24:6 merupakan pengingat yang kuat tentang sejarah hubungan antara Allah dan umat-Nya, khususnya bangsa Israel. Dalam konteks pasal ini, Yosua sedang berbicara kepada seluruh umat Israel, mengajak mereka untuk membuat keputusan tegas mengenai siapa yang akan mereka sembah di masa mendatang. Ia mengingatkan mereka tentang asal-usul mereka, di mana nenek moyang mereka, Abraham, Ishak, dan Yakub, pada awalnya hidup di tanah Mesopotamia, di seberang Sungai Efrat. Di sana, mereka tidak hanya hidup sebagai bangsa yang nomaden, tetapi juga beribadah kepada banyak dewa yang berbeda, suatu praktik umum di banyak peradaban kuno.
Namun, Allah yang Mahakuasa tidak membiarkan mereka dalam keadaan tersebut. Allah memanggil Abraham dan membuat perjanjian dengan-Nya, menjanjikan keturunan yang banyak dan sebuah tanah. Janji ini dilanjutkan kepada Ishak dan Yakub. Allah secara aktif membawa nenek moyang bangsa Israel menyeberangi Sungai Efrat, sebuah momen krusial yang menandai awal dari perjalanan panjang mereka menuju tanah yang dijanjikan. Sungai Efrat pada zaman itu merupakan batas geografis dan budaya yang signifikan, memisahkan Mesopotamia dari tanah Kanaan. Penyeberangan ini adalah tindakan intervensi ilahi yang dramatis, menunjukkan kekuasaan Allah atas alam dan sejarah.
Selanjutnya, Allah memberikan seluruh tanah Kanaan kepada mereka untuk diduduki. Ini bukan hanya sekadar pemberian wilayah, tetapi juga penegasan kembali atas janji-Nya dan demonstrasi kesetiaan-Nya. Bangsa Israel dihadapkan pada kenyataan bahwa kehadiran mereka di tanah Kanaan adalah hasil dari campur tangan Allah, bukan karena kekuatan atau kehebatan mereka sendiri. Allah tidak hanya memberi mereka tanah, tetapi juga menyatakan dengan tegas, "Aku akan menjadi Allahmu." Pernyataan ini adalah inti dari perjanjian itu. Ini berarti Allah akan memelihara, melindungi, membimbing, dan menjadi sumber segala sesuatu yang mereka butuhkan. Ini adalah hubungan yang eksklusif dan intim, yang menuntut kesetiaan penuh dari pihak Israel.
Dalam konteks zaman modern, ayat ini memanggil kita untuk merenungkan perjalanan rohani kita sendiri. Sama seperti nenek moyang Israel yang hidup di tengah-tengah praktik penyembahan berhala dan budaya yang berbeda, kita pun sering kali dihadapkan pada pilihan yang sama: kepada siapa kita akan memberikan hati dan kesetiaan kita? Godaan untuk mengikuti arus dunia, menyembah "dewa-dewa" modern seperti materi, kekuasaan, reputasi, atau kesenangan sesaat, sangatlah nyata. Namun, Allah yang sama yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir dan menyeberangkan mereka dari Mesopotamia, juga telah menyediakan jalan bagi kita melalui Yesus Kristus.
Allah tidak hanya menuntut kesetiaan kita, tetapi Dia juga berjanji untuk menjadi Allah kita. Dia berjanji untuk hadir dalam hidup kita, memberikan kita kekuatan, hikmat, dan tujuan. Keputusan untuk melayani dan mengikuti Allah haruslah merupakan keputusan yang sadar dan disengaja, seperti yang Yosua minta dari bangsa Israel. Ini berarti menolak segala bentuk penyembahan berhala modern dan berkomitmen sepenuhnya kepada satu Allah yang benar. Pengingat akan kesetiaan Allah di masa lalu, seperti yang Yosua sampaikan, seharusnya menguatkan keyakinan kita bahwa Dia akan tetap setia kepada kita di masa kini dan masa depan. Marilah kita menanggapi panggilan ini dengan iman dan ketaatan yang teguh.