Maka berfirmanlah TUHAN: "Engkaukah yang merasa kasihan akan tumbuh-tumbuhan itu, yang untuk pemeliharaannya tidak dapat susah payah dan yang tidak kamu membuatnya tumbuh, yang timbul dalam semalam dan hilang dalam semalam pula?"
(Ilustrasi: Simbol pohon yang tumbuh dan berkembang, melambangkan kehidupan dan kerapuhan ciptaan.)
Ayat Yunus 4:10 adalah bagian penutup dari Kitab Yunus, yang menceritakan kisah nabi yang diutus Tuhan ke Niniwe, kota besar Asyur yang penuh dosa. Setelah penduduk Niniwe bertobat karena khotbah Yunus, dan Tuhan mengurungkan niat-Nya untuk menghancurkan kota itu, Yunus justru merasa murka dan kecewa. Kekecewaan Yunus ini memuncak pada percakapan dengan Tuhan yang terekam dalam pasal 4.
Dalam ayat ini, Tuhan bertanya kepada Yunus tentang perasaannya terhadap tanaman jarak yang tumbuh cepat untuk meneduhinya, namun kemudian layu. Pertanyaan ini bukanlah sekadar pertanyaan retoris, melainkan sebuah pelajaran mendalam tentang perspektif dan kasih Tuhan. Yunus merasa sedih dan marah karena tanaman yang memberikan kenyamanan sesaat itu mati. Padahal, ia tidak berjuang untuk menanam atau merawatnya; tumbuh dan hilangnya tanaman itu terjadi di luar kendalinya.
Melalui perumpamaan tanaman jarak ini, Tuhan hendak mengajar Yunus (dan kita) tentang perbedaan antara kepedulian manusia yang seringkali terbatas pada diri sendiri, dan kasih serta belas kasihan ilahi yang mencakup seluruh ciptaan. Yunus hanya peduli pada kenyamanannya sendiri, namun Tuhan peduli pada ribuan jiwa di Niniwe, termasuk hewan-hewan mereka. Niniwe, sebagai kota besar, memiliki penduduk yang sangat banyak – lebih dari dua belas ribu orang yang belum dapat membedakan tangan kanan dari tangan kiri mereka, selain banyak hewan juga.
Ayat ini menyoroti keadilan Tuhan yang tidak hanya bertindak menghukum, tetapi juga penuh belas kasihan. Tuhan memberikan kesempatan pertobatan dan menawarkan pengampunan, bahkan kepada bangsa-bangsa yang dianggap musuh Israel. Yunus, yang memiliki pandangan eksklusif dan picik, kesulitan memahami keluasan kasih dan rencana Tuhan yang melampaui batas-batas nasional atau pribadi.
Pesan dalam Yunus 4:10 tetap relevan hingga kini. Seringkali, kita seperti Yunus, lebih peduli pada hal-hal yang langsung berdampak pada diri kita, kenyamanan pribadi, atau kelompok kita sendiri. Kita mungkin merasa jengkel ketika rencana kita terganggu atau ketika sesuatu yang kita anggap "milik" kita hilang, meskipun kita tidak berinvestasi banyak di dalamnya. Di sisi lain, kita mungkin cenderung kurang berempati atau bahkan mengutuk mereka yang berbeda pandangan, kelompok sosial, atau bangsa lain, terutama jika mereka dianggap "musuh" atau "lain".
Tuhan mengajarkan kita melalui Yunus 4:10 untuk memperluas hati dan pikiran kita. Kita dipanggil untuk melihat gambaran yang lebih besar, memahami bahwa Tuhan mengasihi seluruh ciptaan-Nya. Keadilan ilahi bukan berarti tanpa belas kasihan, melainkan keseimbangan antara kebenaran dan kasih. Pelajaran ini mendorong kita untuk merefleksikan diri, mengikis prasangka, dan menumbuhkan empati yang lebih luas terhadap sesama, sebagaimana Tuhan menunjukkan belas kasih-Nya kepada Niniwe.
Dengan demikian, ayat ini menjadi pengingat kuat akan kedalaman kasih Tuhan yang seringkali melebihi pemahaman manusia, serta panggilan bagi kita untuk mencerminkan kasih dan keadilan ilahi dalam kehidupan sehari-hari, melampaui kepentingan diri sendiri.