Ayat Zakharia 7:11 sering kali luput dari perhatian, namun pesannya sangat relevan bagi setiap individu yang bergumul dengan ketaatan dan pendengaran rohani. Ayat ini muncul dalam konteks di mana umat Israel, setelah dibebaskan dari pembuangan di Babel, masih mempertanyakan apakah puasa dan perkabungan mereka masih bermakna di mata Tuhan. Mereka bertanya, "Apakah puasa pada bulan kelima dan puasa pada bulan ketujuh harus kita lakukan dengan ratapan seperti yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun ini?" (Zakharia 7:3).
Tuhan, melalui nabi Zakharia, memberikan jawaban yang tegas dan penuh hikmat. Bagian awal dari respons Tuhan menyoroti bahwa puasa dan ratapan mereka saat itu tidaklah tulus. Tuhan berkata, "Apakah kamu berpuasa untuk Aku, untuk Aku?" (Zakharia 7:5). Ini bukan pertanyaan tentang ketidakmampuan berpuasa, melainkan tentang motivasi di balik tindakan tersebut. Tuhan menginginkan hati yang sungguh-sungguh kepada-Nya, bukan sekadar ritual kosong.
Kemudian, di ayat 11, kita melihat akar permasalahan yang lebih dalam. "Tetapi mereka menolak untuk mendengarkan, memalingkan bahu mereka dan menutup telinga mereka supaya jangan mendengar." Kata-kata ini menggambarkan sebuah sikap penolakan aktif terhadap firman Tuhan. 'Memalingkan bahu' menyiratkan ketidakpedulian dan keengganan untuk menerima beban atau tanggung jawab yang diberikan. 'Menutup telinga' adalah metafora yang kuat untuk menolak mendengarkan, baik suara Tuhan maupun suara orang yang menyampaikan kebenaran.
Sikap seperti ini bukanlah hal baru. Sepanjang sejarah umat Israel, berulang kali nabi-nabi diutus untuk memperingatkan, menegur, dan memimpin mereka kembali kepada Tuhan. Namun, banyak dari mereka yang memilih untuk tidak mendengar. Mereka lebih nyaman dengan cara hidup mereka sendiri, dengan tradisi yang ada, meskipun itu jauh dari kehendak Tuhan. Penolakan untuk mendengarkan firman Tuhan membawa konsekuensi yang serius, yaitu keterasingan dari hadirat-Nya dan ketidakmampuan untuk memahami pesan-Nya.
Dalam kehidupan modern, kita juga bisa terjebak dalam sikap yang sama. Di tengah arus informasi yang begitu deras, suara Tuhan terkadang tenggelam. Kita mungkin sibuk dengan rutinitas, dengan keinginan duniawi, atau bahkan dengan pemahaman religius yang dangkal, sehingga kita 'memalingkan bahu' dan 'menutup telinga' ketika Tuhan berbicara melalui Kitab Suci, melalui teguran yang lembut, atau melalui kebutuhan sesama. Zakharia 7:11 mengingatkan kita akan pentingnya kesediaan hati untuk mendengar. Pendengaran yang sejati bukanlah sekadar mendengar suara, tetapi melibatkan pemahaman, penerimaan, dan tindakan ketaatan. Ketika kita membuka hati dan telinga kita kepada Tuhan, kita membuka diri pada pemulihan, pertumbuhan rohani, dan persekutuan yang mendalam dengan Sang Pencipta.