Zakharia 7:2 - Tumbuh dalam Ketaatan dan Kebaikan

"Lalu datanglah firman TUHAN kepada Zakharia pada tanggal empat bulan kesembilan—yakni bulan Kislew—"
TUHAN

Ayat pembuka dari Zakharia 7:2 menandai momen penting dalam dialog antara umat Tuhan dan para pemimpin mereka, serta wahyu ilahi yang disampaikan melalui nabi. Ketika orang-orang dari Betel mengirim utusan kepada para imam dan nabi di Bait Allah Yerusalem, pertanyaan mereka berpusat pada praktik keagamaan yang telah mereka jalani selama masa pembuangan. Ini adalah momen refleksi, ketika masa lalu yang kelam dan masa depan yang penuh ketidakpastian mendorong mereka untuk mencari pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Tuhan.

Konteks dan Pertanyaan Kunci

Para utusan ini bertanya apakah mereka masih harus berpuasa dan berkabung pada bulan kelima dan bulan ketujuh, sebagaimana yang telah mereka lakukan sejak zaman pembuangan. Pertanyaan ini menunjukkan kerinduan mereka akan bimbingan dan pemahaman. Mereka tidak hanya menanyakan apakah suatu kebiasaan harus dilanjutkan, tetapi juga mendasarinya dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan menyenangkan Tuhan dan membawa pemulihan. Mereka telah mengalami penderitaan dan kehilangan, dan puasa serta perkabungan adalah cara mereka mengekspresikan kesedihan dan pertobatan mereka.

Lebih dari Sekadar Ritual

Namun, Tuhan melalui Zakharia tidak hanya memberikan jawaban atas pertanyaan ritualistik. Pesan yang disampaikan lebih dalam dari sekadar mematuhi serangkaian tindakan. Tuhan menekankan bahwa ketaatan yang sejati bukanlah sekadar perayaan formal atau penolakan makanan semata. Ketaatan yang diinginkan Tuhan adalah yang terinternalisasi, yang tercermin dalam sikap hati dan tindakan nyata sehari-hari. Puasa yang hanya bersifat lahiriah tanpa disertai keadilan dan belas kasihan akan terasa hampa di hadapan Tuhan.

Menuju Kebaikan yang Sejati

Inti dari pesan ilahi ini adalah bahwa Tuhan menginginkan umat-Nya untuk hidup dalam kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Puasa yang bermakna adalah puasa yang membebaskan hati dari keserakahan dan egoisme, serta mendorong tindakan welas asih kepada sesama, terutama kepada janda, yatim piatu, orang asing, dan mereka yang membutuhkan. Inilah esensi dari kehidupan yang berkenan kepada Tuhan: hidup yang mencerminkan karakter-Nya, yaitu kasih dan keadilan.

Penerapan untuk Masa Kini

Zakharia 7:2 dan konteksnya memberikan pelajaran berharga bagi kita saat ini. Apakah kita seringkali terjebak dalam rutinitas keagamaan tanpa merenungkan makna yang lebih dalam? Apakah tindakan ketaatan kita hanya sebatas kewajiban, ataukah ia memancar menjadi kasih dan kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita? Tuhan memanggil kita untuk bergerak melampaui ritual kosong, menuju penghayatan iman yang aktif melalui perbuatan kasih, keadilan, dan kebaikan. Pertumbuhan spiritual sejati terukur bukan hanya dari seberapa sering kita berdoa atau berpuasa, tetapi dari seberapa besar kita mencerminkan cinta Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.