Ayat yang terdapat dalam Kitab Zakharia pasal 7, ayat 3, ini membawa kita pada sebuah momen penting dalam sejarah Israel pasca-pembuangan. Pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang kembali dari Babel bukanlah sekadar rutinitas keagamaan semata, melainkan sebuah ungkapan hati yang mendalam tentang makna dan tujuan dari ibadah, khususnya puasa. Pertanyaan ini diajukan kepada para imam dan nabi, otoritas rohani pada masa itu, menunjukkan kerinduan untuk memahami kehendak Tuhan di tengah keadaan baru mereka.
Konteks sejarah sangatlah krusial untuk memahami kedalaman pertanyaan ini. Bangsa Israel telah mengalami pembuangan yang panjang dan menyakitkan di Babel. Mereka kehilangan Bait Suci, tanah leluhur, dan kebebasan mereka. Setelah diizinkan kembali ke Yerusalem, mereka dihadapkan pada realitas pembangunan kembali yang tidak mudah. Perjuangan fisik dan emosional ini tentu membawa banyak pertanyaan tentang hubungan mereka dengan Tuhan. Puasa, yang seringkali menjadi ekspresi kesedihan, pertobatan, dan permohonan, menjadi salah satu praktik keagamaan yang dipertanyakan signifikansinya. "Apakah gerangan aku harus berpuasa pada bulan kelima dan membedakan diri seperti yang telah kulakukan bertahun-tahun?" Pertanyaan ini menyiratkan adanya kebiasaan berpuasa yang sudah lama dilakukan, mungkin sebagai respons terhadap bencana masa lalu atau sebagai cara untuk menjaga identitas spiritual mereka di negeri asing. Namun, kini, dalam keadaan yang berbeda, mereka bertanya-tanya apakah praktik tersebut masih relevan atau memiliki makna yang sama.
Jawaban yang diberikan oleh Tuhan melalui nabi Zakharia (yang akan dibahas dalam ayat-ayat selanjutnya) menekankan bahwa puasa yang dikehendaki Tuhan bukanlah sekadar ritual lahiriah atau ekspresi kesedihan tanpa makna. Tuhan lebih menginginkan puasa yang disertai dengan hati yang tulus, keadilan, belas kasihan, dan ketaatan kepada hukum-Nya. Ini adalah ajaran universal yang melampaui konteks sejarah Israel, mengajarkan kita bahwa ibadah yang sejati kepada Tuhan selalu melibatkan transformasi hati dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Zakharia 7:3 menjadi pengingat bahwa dalam setiap praktik keagamaan yang kita jalani, kita perlu terus menerus bertanya dan merenungkan maknanya. Apakah kita berpuasa, berdoa, atau melakukan perbuatan baik lainnya hanya karena kebiasaan, atau karena kita benar-benar memahami dan menghidupi esensi dari perintah Tuhan? Pertanyaan ini mendorong kita untuk memeriksa motif kita dan memastikan bahwa ibadah kita benar-benar berkenan di hadapan Tuhan, bukan hanya sekadar tindakan formalitas. Ia memanggil kita untuk membawa kehidupan spiritual kita ke level yang lebih dalam, di mana praktik lahiriah selaras dengan isi hati yang murni dan tindakan yang mencerminkan kasih Tuhan kepada sesama.