1 Raja-Raja 14:2 - Jerobeam dan Keturunannya

"Dan Jerobeam berfirman kepada isterinya: "Bangunlah, pergilah menyamar, supaya jangan orang mengenalmu, bahwa engkau hendak pergi ke rumah Oby. Lihat, Abiya, anakmu itu, akan sakit tenat."

Ayat dari Kitab 1 Raja-Raja pasal 14, ayat 2 ini membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah Israel. Narasi ini menggambarkan Raja Jerobeam yang sedang menghadapi kenyataan pahit mengenai kesehatananak kesayangannya, Abiya. Dalam keputusasaannya, Jerobeam mengambil langkah yang tidak lazim: ia meminta istrinya untuk menyamar dan pergi ke rumah seorang nabi, yaitu Nabi Oby.

Kisah ini bukan hanya sekadar cerita tentang seorang raja yang mencemaskan anaknya. Di balik permintaan yang tampak sederhana ini, tersembunyi sebuah refleksi mendalam tentang kondisi spiritual Israel pada masa itu, khususnya di Kerajaan Israel Utara. Jerobeam sendiri adalah sosok yang dikenal karena memimpin Israel keluar dari kekuasaan Kerajaan Yehuda, namun ironisnya, ia juga dikenal karena upayanya untuk menjaga kemerdekaan politik dengan cara yang justru menjauhkan bangsanya dari Tuhan.

Impian dan Kekecewaan

Jerobeam, setelah memisahkan diri dari Salomo, berusaha membangun identitas baru bagi kerajaannya. Ia mendirikan tempat-tempat ibadah baru dan menetapkan perayaan agama tersendiri, terpisah dari Bait Suci di Yerusalem. Niat awalnya mungkin adalah untuk mencegah rakyatnya kembali ke Yerusalem dan kembali tunduk pada raja Yehuda. Namun, tindakan ini akhirnya mengarah pada penyembahan berhala dan penyimpangan dari ajaran Tuhan yang murni.

Kini, di hadapan penyakit serius yang menimpa Abiya, Jerobeam merasa perlu mencari bantuan ilahi. Keputusannya untuk pergi kepada seorang nabi, meskipun dengan cara yang tersembunyi, menunjukkan adanya kesadaran akan keterbatasan kekuasaannya sendiri sebagai seorang raja. Ia mengakui bahwa kekuatannya tidak cukup untuk mengatasi masalah kesehatan anaknya. Hal ini ironis jika dibandingkan dengan caranya membangun kekuasaannya, yang sering kali didasarkan pada kekuatan duniawi dan kompromi spiritual.

Peran Nabi Oby

Nabi Oby adalah sosok penting dalam narasi ini. Meskipun namanya jarang disebut secara mendalam dalam kitab-kitab sejarah, kehadirannya di sini menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah sepenuhnya meninggalkan umat-Nya, bahkan di tengah masa-masa kegelapan spiritual. Permintaan Jerobeam kepada istrinya untuk menyamar mencerminkan ketakutan dan mungkin juga ketidakpercayaan pada otoritas agama yang ia ciptakan sendiri. Ia sadar bahwa kunjungannya ke rumah nabi yang setia pada Tuhan yang benar akan menimbulkan pertanyaan atau bahkan kecurigaan.

Ayat ini juga menyoroti sebuah tema umum dalam Kitab Raja-Raja: bahwa tindakan para pemimpin memiliki dampak besar pada bangsa. Jerobeam, meskipun memiliki alasan politik untuk tindakannya, telah membuka pintu bagi praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Penyakit anaknya bisa dilihat sebagai salah satu konsekuensi, atau setidaknya sebuah peringatan dari Tuhan mengenai jalan yang telah ia tempuh.

Pesan untuk Masa Kini

Kisah Jerobeam dan Abiya mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang didasarkan pada kompromi moral atau spiritual seringkali berakhir dengan kekecewaan dan penderitaan. Meskipun kekuasaan duniawi bisa diperoleh, nilai-nilai ilahi tidak bisa digantikan dengan mudah. Kepercayaan pada Tuhan yang sejati, dalam segala situasi, tetap menjadi fondasi yang kokoh bagi individu maupun bangsa. Permintaan Jerobeam untuk menyamar menunjukkan bahwa, di lubuk hatinya, ia masih mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dari kekuasaan semata.

Dalam konteks modern, kita pun dapat belajar dari kisah ini. Sebagai individu, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menguji integritas kita. Sebagai pemimpin, keputusan kita memiliki resonansi yang luas. Cerita ini adalah pengingat abadi bahwa mencari hikmat dan pertolongan dari Sumber yang benar, bahkan di saat-saat tergelap, adalah langkah yang paling bijaksana. Menyamar atau bersembunyi dari kebenaran hanya akan memperpanjang keraguan, sementara pengakuan dan penyerahan diri pada Tuhan membawa harapan dan kedamaian sejati.