Perjalanan Iman Raja Asa
Kisah Raja Asa yang tercatat dalam 1 Raja-Raja 15:24 memberikan gambaran tentang perjuangan seorang pemimpin dalam memelihara kemurnian ibadah di kerajaannya. Asa adalah raja Yehuda, keturunan Daud, yang memerintah dengan baik di Yerusalem. Ia dikenal karena menyingkirkan mezbah-mezbah asing dan memulihkan ibadah kepada TUHAN. Namun, kisah ini juga menyoroti sebuah kesalahan yang dilakukan oleh putranya, Yosafat, yang kelak akan menggantikannya.
Dalam ayat ini, kita melihat bagaimana Asa, di akhir masa pemerintahannya, "tertidur bersama nenek moyangnya". Ini adalah ungkapan yang umum digunakan dalam Alkitab untuk menggambarkan kematian seorang raja atau tokoh penting, menandakan bergabungnya mereka dengan para leluhur di alam baka. Asa dikuburkan dengan hormat di kota Daud, tempat peristirahatan para raja yang saleh.
Namun, poin penting yang diangkat di sini bukanlah semata-mata kematiannya, melainkan tindakan tegas yang diambil terkait dengan ibunya, Maakha. Maakha, yang di sini disebut sebagai "ratu ibunya", tampaknya memegang pengaruh yang signifikan. Sayangnya, ia memanfaatkannya untuk mendukung pemujaan berhala, khususnya patung Asyera yang "keji". Ini menunjukkan bahwa bahkan di dalam keluarga kerajaan, godaan untuk berpaling dari TUHAN sangatlah nyata.
Asa, yang sebelumnya telah menunjukkan kesalehan dan ketegasan dalam memberantas berhala, kali ini menunjukkan ketegasannya yang lebih besar lagi. Ia tidak hanya menyingkirkan ibunya dari kedudukan kehormatan, tetapi juga secara pribadi menghancurkan patung berhala yang telah dibuat ibunya. Tindakan membakar patung Asyera di lembah Kidron, sebuah tempat yang kemudian menjadi simbol penolakan terhadap penyembahan berhala, menegaskan komitmen Asa untuk memurnikan ibadah di Yehuda.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga. Pertama, pentingnya integritas dan keberanian dalam menghadapi godaan, bahkan ketika itu datang dari orang terdekat. Asa menunjukkan bahwa kesetiaan kepada TUHAN haruslah yang utama. Kedua, meskipun Asa sendiri pada akhirnya "berjalan dengan sepenuh hati terhadap TUHAN", ia juga menghadapi kenyataan bahwa pengaruh buruk dapat datang dari berbagai arah, termasuk dari lingkaran terdekat.
Lebih lanjut, ayat ini juga mengingatkan kita tentang warisan spiritual. Asa berusaha memastikan bahwa kerajaan yang ia pimpin tetap setia kepada Allah. Keputusannya untuk bertindak tegas terhadap ibunya, meskipun sulit, adalah demi kemurnian iman bangsanya. Kisah ini, meski singkat, menggarisbawahi tema perjuangan rohani yang berkelanjutan, di mana kepemimpinan yang saleh harus senantiasa waspada terhadap segala bentuk penyimpangan dari jalan TUHAN.