"TUHAN adalah Allah yang benar, Dialah Allah yang hidup dan Raja yang kekal..." (1 Raja-raja 18:39)
Kitab 1 Raja-raja pasal 18 dan 19 menyajikan salah satu episode paling dramatis dan monumental dalam kisah Alkitab. Babak ini berpusat pada nabi Elia, seorang tokoh yang teguh imannya di tengah-tengah kekacauan rohani Israel di bawah pemerintahan Raja Ahab dan istrinya, Izebel. Selama periode ini, penyembahan berhala kepada dewa Baal telah merajalela, menggantikan penyembahan kepada TUHAN, Allah Israel. Elia diutus oleh Tuhan untuk menghadapi tantangan ini secara langsung, membuktikan bahwa TUHAN sajalah Allah yang berkuasa.
Pasal 18 menggambarkan konfrontasi yang menentukan di Gunung Karmel. Elia menantang 450 nabi Baal untuk beradu persembahan dengan dirinya di hadapan seluruh Israel. Kedua belah pihak diminta untuk menyiapkan korban sembelihan dan berseru kepada ilah mereka agar mengirimkan api dari langit untuk membakarnya. Para nabi Baal, meskipun telah melakukan ritual mereka dengan penuh semangat, mulai dari pagi hingga sore, tidak mendapatkan jawaban dari ilah mereka. Sebaliknya, ketika tiba giliran Elia, ia tidak hanya menyiapkan korban sembelihannya dengan hati-hati, tetapi juga menyiramnya dengan air sebanyak tiga kali, sebuah tindakan yang membuat penonton semakin meragukan kemampuannya. Namun, doa Elia yang tulus dan penuh keyakinan dijawab oleh Tuhan. Api turun dari langit, melahap habis korban, kayu bakar, batu-batu, debu, dan bahkan air yang ada di parit. Kejadian luar biasa ini meyakinkan seluruh rakyat bahwa TUHAN, Dialah Allah yang benar. Sebagai konsekuensinya, mereka menangkap dan membunuh nabi-nabi Baal, memulihkan otoritas TUHAN di negeri itu.
Meskipun kemenangan di Gunung Karmel tampak gemilang, pasal 19 menunjukkan sisi lain dari perjuangan spiritual. Kabar tentang apa yang terjadi di Karmel sampai ke telinga Izebel, dan ia bersumpah akan membunuh Elia pada hari berikutnya. Ketakutan dan ancaman dari Izebel membuat Elia melarikan diri. Ia berlari ke padang gurun, di mana ia merasa putus asa dan menginginkan kematian. Perjalanan jauh yang ia tempuh membawanya ke Gunung Horeb (Sinai), tempat TUHAN pernah menyatakan diri kepada Musa. Di sana, Elia mengalami perjumpaan yang berbeda dengan TUHAN. Alih-alih dalam angin kencang, gempa bumi, atau api, TUHAN hadir dalam "suara uraian yang lembut dan tenang." TUHAN bertanya kepada Elia mengapa ia berada di sana. Elia mengutarakan keputusasaannya, merasa bahwa ia adalah satu-satunya nabi yang tersisa dan bahkan nyawanya terancam.
Melalui pengalaman di Gunung Horeb, TUHAN menguatkan kembali Elia. TUHAN memerintahkan Elia untuk kembali ke Damaskus dan mengurapi Hazael menjadi raja Aram, Yehu menjadi raja Israel, dan Elisa menjadi nabi menggantikannya. Pesan ini menunjukkan bahwa karya TUHAN tidak bergantung pada satu orang saja, meskipun Elia adalah alat yang luar biasa di tangan-Nya. TUHAN memiliki rencana yang lebih luas dan telah menetapkan orang-orang lain untuk melanjutkan pekerjaan-Nya. Peristiwa di 1 Raja-raja 18-19 tidak hanya menjadi kesaksian tentang kuasa TUHAN atas ilah-ilah lain, tetapi juga mengajarkan tentang ketahanan iman, kelemahan manusia, dan pemeliharaan ilahi yang selalu menyertai umat-Nya, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. Kisah Elia mengingatkan kita bahwa menghadapi kejahatan dan ketidakadilan seringkali memerlukan keberanian, tetapi juga penguatan dari Tuhan sendiri.