"Kemudian raja berkata: 'Yang seorang berkata: Anakku yang hidup itulah yang aku mau, dan anak yang mati itulah yang menjadi bagianmu.' Tetapi yang lain berkata: 'Tidak, anak yang mati itulah yang menjadi bagianmu, dan anak yang hidup itulah yang menjadi bagianku.'"
Representasi visual keadilan dan kasih sayang.
Ayat yang kita rencanakan untuk dibahas malam ini, yaitu 1 Raja-Raja 3:23, membawa kita pada sebuah momen krusial dalam pemerintahan Raja Salomo. Kisah ini bukan sekadar cerita tentang hukum dan peradilan, melainkan sebuah potret mendalam tentang kebijaksanaan yang diberikan oleh Tuhan, dan bagaimana kebijaksanaan itu menyingkap kebenaran yang tersembunyi di balik hati manusia. Dalam ayat ini, Salomo telah dihadapkan pada sebuah kasus yang sangat pelik: dua orang perempuan yang mengaku sebagai ibu dari satu bayi yang sama.
Situasi ini sangat dilematis. Keduanya bersikeras bahwa bayi yang hidup adalah anak mereka, sementara bayi yang mati adalah milik lawannya. Bayangkan betapa beratnya beban yang dipikul Salomo. Sebagai hakim, ia memiliki otoritas untuk memutuskan siapa yang berhak atas bayi yang masih hidup, namun bagaimana ia dapat mengetahui kebenaran tanpa bukti yang jelas? Di sinilah letak keagungan hikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Salomo tidak hanya diberkahi dengan kecerdasan intelektual, tetapi juga dengan pemahaman intuitif tentang emosi dan motivasi manusia.
Respons Salomo, meskipun terkesan dramatis, adalah manifestasi dari hikmat ilahi. Ia memerintahkan agar bayi yang hidup dibelah dua dan masing-masing diberikan separuh. Perintah ini bukanlah sebuah kekejaman, melainkan sebuah ujian yang dirancang untuk melihat reaksi sejati dari kedua perempuan tersebut. Dalam dunia modern, kita mungkin terkejut atau bahkan jijik dengan ide tersebut. Namun, dalam konteks narasi kuno dan kebijaksanaan yang diungkapkan, perintah itu adalah kunci untuk membuka tabir kebenaran.
Reaksi dari kedua perempuan itu adalah hal yang paling menarik. Satu perempuan, yang tidak ragu-ragu menyetujui pembagian bayi tersebut, mengungkapkan sifat egois dan keputusasaan yang mungkin berasal dari kesedihan atas kehilangan anaknya. Namun, perempuan yang lain, ibu yang sebenarnya, tidak dapat mentolerir gagasan bahwa anaknya akan dibunuh. Ia lebih memilih menyerahkan haknya atas bayi yang hidup, daripada melihatnya mati. Ia berkata, "Ya, tuanku, berikanlah bayi yang hidup itu kepadanya, janganlah membunuhnya." (1 Raja-Raja 3:26).
Ayat 1 Raja-Raja 3:23, meskipun kutipan langsung dari dialog antara Salomo dan kedua perempuan itu, menjadi pondasi dari seluruh adegan dramatis ini. Pernyataan kontras tersebut—satu mengakui anak mati sebagai miliknya dan yang lain mempertahankan anak hidup—adalah inti dari teka-teki yang harus dipecahkan. Ini adalah inti dari perdebatan yang membedakan antara cinta yang posesif dan cinta yang pengorbanan. Ibu yang sejati lebih mengutamakan keselamatan anaknya daripada kepemilikannya sendiri. Ia rela kehilangan haknya, asalkan anaknya tetap hidup.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang pemahaman emosi, empati, dan kemampuan untuk melihat melampaui kata-kata. Kasih ibu, dalam bentuknya yang paling murni, adalah kekuatan yang tidak dapat ditandingi. Ia bersedia berkorban demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dikasihinya. Keputusan Salomo untuk memberikan bayi yang hidup kepada perempuan yang lebih tua adalah bukti bahwa Tuhan bekerja melalui hikmat-Nya untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kasih.
Cerita dari 1 Raja-Raja 3:23 terus relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita akan nilai kebenaran, pentingnya hikmat dalam mengambil keputusan, dan kekuatan luar biasa dari kasih yang tanpa syarat. Dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan personal maupun dalam skala yang lebih besar, prinsip-prinsip ini tetap menjadi panduan yang berharga.