1 Tawarikh 21 17: Doa Daud di Tengah Wabah

"Lalu berkatalah Daud kepada Allah: "Bukankah aku ini yang menyuruh menghitung orang banyak? Akulah yang berdosa dan yang melakukan kejahatan ini. Tetapi domba-domba ini, apakah dosa mereka? Ya TUHAN, Allahku, biarlah tangan-Mu menimpa aku dan kaum bapakku, tetapi janganlah tangan-Mu menimpa umat-Mu dengan penyakit sampar."

Kisah dalam 1 Tawarikh 21 mencatat salah satu momen paling krusial dan penuh kepedihan dalam kehidupan Raja Daud. Akibat kesombongan atau mungkin dorongan yang keliru, Daud memerintahkan penghitungan penduduk Israel. Tindakan ini bukan sekadar sensus biasa; di mata Tuhan, hal itu menunjukkan ketidakpercayaan Daud kepada perlindungan-Nya dan lebih mengandalkan kekuatan manusia. Sebagai konsekuensinya, Allah mengizinkan malaikat maut untuk mendatangkan hukuman berupa penyakit sampar yang mematikan atas Israel.

Ayat ke-17 dari pasal ini menampilkan inti dari respons Daud setelah melihat murka Tuhan yang sedang bekerja. Di tengah keputusasaan dan penderitaan umatnya, Daud tidak mencari alasan atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya, ia mengakui dosanya sendiri dengan suara gemetar dan hati yang hancur. "Bukankah aku ini yang menyuruh menghitung orang banyak? Akulah yang berdosa dan yang melakukan kejahatan ini." Pengakuan ini adalah tanda kerendahan hati yang luar biasa dari seorang raja yang biasanya begitu kuat dan berkuasa. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai pemimpin yang tak tersentuh, melainkan sebagai pribadi yang bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang telah membawa malapetaka.

Lebih dari sekadar pengakuan dosa pribadi, doa Daud pada ayat ini menunjukkan kepeduliannya yang mendalam terhadap domba-dombanya, yaitu rakyat yang dipercayakan kepadanya. Ia berseru, "Tetapi domba-domba ini, apakah dosa mereka?" Pertanyaan retoris ini menyoroti ketidakadilan jika seluruh umat harus menanggung konsekuensi dari satu dosa pemimpin mereka. Daud menyadari bahwa rakyatnya tidak bersalah dalam keputusan penghitungan ini. Kepedulian seorang pemimpin sejati terlihat dari bagaimana ia melihat dan memperjuangkan kesejahteraan umatnya, bahkan ketika ia sendiri sedang dihukum.

Puncak dari doa Daud adalah permohonannya yang penuh pengorbanan: "Ya TUHAN, Allahku, biarlah tangan-Mu menimpa aku dan kaum bapakku, tetapi janganlah tangan-Mu menimpa umat-Mu dengan penyakit sampar." Permohonan ini sungguh mengharukan. Daud menawarkan dirinya dan keluarganya untuk menanggung hukuman yang seharusnya menimpa seluruh umat. Ini adalah gambaran tentang seorang pemimpin yang bersedia menanggung penderitaan demi melindungi rakyatnya. Ia lebih memilih untuk menderita sendiri daripada melihat orang-orang yang dicintainya binasa. Sikap ini mencerminkan karakter Kristus yang kelak akan menebus umat manusia dengan pengorbanan diri-Nya.

1 Tawarikh 21:17 bukan hanya sekadar catatan sejarah tentang hukuman ilahi, tetapi sebuah pelajaran abadi tentang pentingnya pengakuan dosa, tanggung jawab pribadi, kepedulian terhadap sesama, dan semangat pengorbanan. Doa Daud mengajarkan kita bahwa di hadapan Tuhan, tidak ada yang luput dari pandangan-Nya, dan kehancuran yang ditimbulkan oleh dosa seringkali membutuhkan respons yang mendalam, baik dari individu maupun dari pemimpin. Kisah ini terus menginspirasi untuk merefleksikan bagaimana kita menghadapi konsekuensi dari tindakan kita dan bagaimana kita peduli terhadap orang-orang di sekitar kita.