Ayat 1 Tawarikh 21:2 mencatat sebuah perintah penting yang diucapkan oleh Raja Daud kepada Yoab dan para pemimpin pasukannya: "Berkatalah Daud kepada Yoab dan kepada para pemimpin rakyat itu: "Pergilah, hitunglah orang Israel, dari Bersyeba sampai ke Dan, dan bawalah kabar jumlah mereka kepadaku, supaya aku tahu bilangan mereka."" Perintah ini, meskipun tampak sederhana, merupakan titik awal dari peristiwa yang membawa konsekuensi serius bagi bangsa Israel dan bagi Daud sendiri. Untuk memahami signifikansinya, kita perlu menggali lebih dalam motivasi di balik tindakan ini.
Secara umum, penghitungan penduduk atau sensus dilakukan untuk berbagai tujuan praktis dalam pemerintahan kuno, seperti penentuan jumlah tenaga kerja untuk proyek pembangunan, pengumpulan pajak, atau pengerahan tentara. Daud sendiri telah memimpin Israel selama bertahun-tahun, dan pada masa pemerintahannya, kerajaan tersebut telah mencapai puncak kejayaan dan stabilitas. Wilayah kekuasaannya luas, pengaruhnya besar, dan pasukannya kuat. Dalam konteks inilah, keinginan Daud untuk mengetahui jumlah pasti rakyatnya bisa diinterpretasikan sebagai langkah logis dari seorang raja yang ingin mengelola kerajaannya dengan baik. Ia ingin mengetahui "kekuatan" sesungguhnya dari umat yang dipimpinnya.
Namun, Kitab Tawarikh, yang ditulis dari perspektif keimaman dan penekanan pada ketaatan kepada Tuhan, memberikan gambaran yang berbeda. Teks sebelumnya dalam pasal yang sama (1 Tawarikh 21:1) secara eksplisit menyatakan, "Iblis bangkit melawan orang Israel; ia membujuk Daud untuk menghitung orang Israel." Pernyataan ini secara langsung menunjuk pada sumber motivasi yang keliru dan godaan yang dihadapi Daud. Penghitungan ini bukan sekadar data demografis, melainkan sebuah tindakan yang didorong oleh kebanggaan, kesombongan, dan ketergantungan pada kekuatan manusia, bukan pada Tuhan.
Daud, yang seharusnya bersandar pada janji dan kekuatan ilahi, tampaknya mulai mengandalkan jumlah pasukannya sebagai ukuran keamanannya. Ia ingin "tahu bilangan mereka," sebuah keinginan untuk memverifikasi kekuatannya sendiri, yang dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kemandirian dari pertolongan Tuhan. Ini bertentangan dengan ajaran dasar dalam Perjanjian Lama yang menekankan bahwa kekuatan Israel datang dari Tuhan, bukan dari jumlah manusia. Bahkan ketika Daud menghadapi Goliat, ia tidak mengandalkan jumlah pasukannya, melainkan iman dan kuasa Tuhan.
Perintah Daud ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai penentangan dari Yoab. Dalam 1 Tawarikh 21:3, Yoab secara terang-terangan menolak perintah ini, mengatakan bahwa jumlah orang Israel sudah cukup besar dan seharusnya Tuhan melipatgandakan mereka seratus kali lipat. Penolakan Yoab ini menunjukkan bahwa bahkan di kalangan para pemimpin militer yang paling berpengalaman sekalipun, ada pemahaman bahwa penghitungan semacam ini mungkin bertentangan dengan kehendak Tuhan atau merupakan tindakan yang tidak perlu jika dilakukan dengan motif yang salah. Yoab tampaknya memahami bahwa ketergantungan yang semestinya adalah pada Tuhan.
Akibat dari perintah Daud ini sangatlah berat. Tuhan murka atas tindakan Daud, dan Israel dikenai hukuman berupa sampar yang mematikan. Peristiwa ini menjadi pengingat kuat bahwa segala tindakan yang kita lakukan, sekecil apapun kelihatannya, haruslah didasari oleh motivasi yang benar dan ketaatan kepada Tuhan. Ayat 1 Tawarikh 21:2 bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga pelajaran abadi tentang bahaya kebanggaan dan pentingnya selalu berserah diri kepada Sang Pencipta, dalam segala hal yang kita lakukan.