Ayat ini dari Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus, pasal 3 ayat 10, membawa pesan yang sangat mendalam tentang kontras antara kemuliaan Perjanjian Lama dan kemuliaan Perjanjian Baru. Rasul Paulus sedang membandingkan pelayanan Musa dengan pelayanan Kristus. Pelayanan Musa, yang diukir pada loh batu, membawa hukum Taurat yang mulia. Sebenarnya, wajah Musa bercahaya ketika ia turun dari Gunung Sinai setelah berbicara dengan Tuhan. Cahaya ini begitu kuat sehingga bangsa Israel tidak tahan memandanginya, sehingga Musa harus menutupi wajahnya. Kemuliaan ini adalah manifestasi fisik dari hadirat Tuhan, sebuah tanda yang luar biasa pada zamannya.
Namun, Paulus dengan tegas menyatakan bahwa kemuliaan yang dulu begitu mencolok itu, kini "sama sekali tidak mempunyai kemuliaan" jika dibandingkan dengan "kemuliaan yang jauh lebih tinggi". Kemuliaan yang lebih tinggi ini merujuk pada kemuliaan Injil Kristus. Injil bukan hanya tentang hukum yang kita patuhi, tetapi tentang anugerah penebusan melalui pengorbanan Yesus Kristus. Ini adalah kemuliaan yang datang dari Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita, mengubah kita dari dalam ke luar, bukan sekadar menuntut kepatuhan dari luar.
Perjanjian Lama memberikan kesadaran akan dosa dan tuntutan kebenaran. Hukum Taurat, meskipun dari Tuhan, mengungkap ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya memenuhinya. Sementara itu, Perjanjian Baru, melalui Kristus, memberikan pengampunan dosa, pembenaran, dan kemampuan baru untuk hidup kudus melalui kuasa Roh Kudus. Perubahan ini bukan hanya perubahan eksternal, tetapi transformasi internal yang kekal. Kemuliaan Roh Kudus yang tinggal di dalam orang percaya adalah kemuliaan yang lebih kekal, lebih transformatif, dan lebih mulia daripada kemuliaan yang dilihat oleh bangsa Israel pada wajah Musa.
Inti dari ayat ini adalah penekanan pada superioritas kasih karunia dan kuasa penebusan yang dibawa oleh Yesus Kristus. Kemuliaan Kristus, yang tersedia bagi semua orang yang percaya, jauh melampaui setiap bentuk kemuliaan yang pernah ada dalam sejarah manusia atau sistem keagamaan sebelumnya. Ini adalah ajakan bagi kita untuk tidak terpaku pada kemuliaan duniawi atau pencapaian diri sendiri, tetapi untuk terus-menerus merenungkan dan mengalami kemuliaan Kristus yang memperbarui dan menguduskan kita setiap hari. Dengan demikian, kita dapat memantulkan kemuliaan-Nya kepada dunia dengan cara yang lebih otentik dan berdampak.