2 Raja-raja 17:1

"Pada tahun kedua belas pemerintahan Hizkia, raja Yehuda, Hosea bin Ela menjadi raja atas Israel di Samaria, dan ia memerintah empat tahun lamanya."

Kisah Kejatuhan Samaria

Ayat pembuka dari pasal ke-17 Kitab 2 Raja-raja ini menyoroti sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel Utara. Disebutkan nama Hosea bin Ela sebagai raja terakhir yang memerintah di Samaria. Periode pemerintahannya yang relatif singkat, hanya empat tahun, menjadi pengantar bagi sebuah malapetaka besar yang akan menimpa kerajaan tersebut. Pengkhotbah Alkitab seringkali menggunakan angka-angka dalam narasi untuk menekankan signifikansi sebuah peristiwa, dan di sini, angka empat tahun tersebut menjadi penanda akhir dari sebuah era panjang.

Samaria, sebagai ibukota Kerajaan Israel Utara, telah lama menjadi pusat kekuatan politik dan ekonomi bagi sepuluh suku utara. Namun, sepanjang sejarahnya, kerajaan ini seringkali terjerumus ke dalam dosa penyembahan berhala dan pengabaian terhadap hukum-hukum Tuhan. Seruan para nabi, seperti Elia dan Elisa, untuk kembali kepada Tuhan seringkali tidak digubris. Akibatnya, kerajaan ini terus-menerus berada dalam ancaman invasi dari kekuatan-kekuatan asing, terutama dari Asyur yang pada masa itu merupakan imperium yang dominan di Timur Tengah.

Hosea bin Ela sendiri, meskipun menjadi raja terakhir, tidak mampu membendung gelombang kehancuran. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Hosea pernah berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Asyur, bahkan sempat menjalin aliansi dengan Mesir. Namun, langkah ini justru memprovokasi raja Asyur, Salmaneser V, untuk melancarkan serangan besar-besaran. Pengepungan Samaria yang dilakukan oleh tentara Asyur berlangsung selama tiga tahun. Ketahanan kota yang luar biasa akhirnya runtuh pada tahun ke-9 pemerintahan Hosea sebagai raja Israel, yang setara dengan tahun ke-14 pemerintahan Hizkia di Yehuda.

Kejatuhan Samaria pada tahun tersebut menandai akhir dari keberadaan Kerajaan Israel Utara sebagai entitas politik yang merdeka. Seluruh penduduknya diangkut sebagai tawanan ke negeri Asyur, dan digantikan oleh orang-orang dari Babilon, Kute, Sefarwaim, Hamat, dan Seferwaim. Proses perpindahan penduduk ini dikenal sebagai pembuangan bangsa Israel ke Asyur. Keadaan ini tentu saja menjadi pukulan telak bagi identitas kebangsaan dan keagamaan bangsa Israel di utara. Mereka tercerai-berai di negeri asing, dan banyak di antara mereka perlahan-lahan berasimilasi dengan penduduk lokal, bahkan mengadopsi cara hidup dan kepercayaan baru.

Peristiwa ini, yang dimulai dengan penyebutan Hosea bin Ela di 2 Raja-raja 17:1, menjadi sebuah pelajaran teologis yang mendalam. Kitab Suci menekankan bahwa kehancuran ini bukanlah sekadar akibat dari kekuatan militer Asyur semata, melainkan merupakan konsekuensi langsung dari ketidaktaatan umat Tuhan terhadap perjanjian-Nya. Dosa penyembahan berhala, ketidakadilan sosial, dan pengabaian terhadap perintah-perintah Tuhan telah mengundang murka ilahi. Kisah kejatuhan Samaria ini menjadi peringatan abadi bagi setiap generasi tentang pentingnya kesetiaan kepada Tuhan dan ketaatan pada firman-Nya.

Meskipun Kerajaan Utara mengalami kejatuhan, Kerajaan Selatan, Yehuda, yang berpusat di Yerusalem, masih bertahan. Keberadaan Hizkia sebagai raja yang saleh di Yehuda di awal pasal ini memberikan kontras yang jelas dengan nasib Samaria. Ini menunjukkan bahwa meskipun ujian dan godaan serupa datang, kepemimpinan yang bijaksana dan kesetiaan umat kepada Tuhan dapat memberikan perlindungan dan pertolongan ilahi. Namun, sejarah Yehuda sendiri kelak juga akan mengalami kejatuhan, sebuah kisah yang akan diuraikan lebih lanjut dalam kitab-kitab berikutnya.

TAHAN