2 Raja-Raja 18:22 - Iman yang Tak Goyah di Hadapan Ancaman

"Tetapi kalau kamu berkata: 'Pada TUHAN, Allah kami, kami ini berharap,' bukankah Dia yang disingkirkan-Nya barang-barang korban dan mezbah-mezbah-Nya, dan yang berkata kepada Yehuda dan Yerusalem: Kepada mezbah inilah kamu akan sujud di hadapan Yerusalem?"
Iman Bukan Sekadar Harapan

Ilustrasi: Simbol harapan dan keyakinan.

Ayat dari Kitab 2 Raja-Raja pasal 18, ayat 22, ini merupakan respons Hizkia, raja Yehuda, terhadap provokasi dan ejekan dari kepala juru minum Asyur. Sang perwakilan raja Sanherib telah datang ke Yerusalem dengan pesan yang meremehkan dan mengancam, mencoba meruntuhkan moral pasukan dan rakyat Yehuda dengan mengejek iman mereka kepada TUHAN. Ia menyombongkan kemenangan raja Asyur atas banyak bangsa dan mengecilkan kuasa Allah Israel, bahkan menyindir bahwa TUHAN sendiri telah diizinkan untuk disingkirkan oleh Sanherib.

Tantangan ini menempatkan Hizkia dan rakyatnya pada posisi yang krusial. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada kekuatan militer Asyur yang nampak tak terkalahkan, dan di sisi lain, mereka diuji sejauh mana iman mereka kepada TUHAN benar-benar hidup dan berakar. Sang kepala juru minum menggunakan argumen logis yang tampak kuat: jika TUHAN begitu perkasa, mengapa Ia membiarkan Sanherib menghancurkan mezbah-mezbah dan menyingkirkan tempat ibadah mereka? Logika manusia yang terbatas seringkali gagal memahami rencana dan kedaulatan ilahi yang melampaui pemahaman duniawi.

Jawaban Hizkia, yang tercatat dalam ayat-ayat selanjutnya, menunjukkan kedalaman imannya. Ia tidak terpancing untuk membalas hinaan dengan hinaan, melainkan mengembalikan fokus pada kebenaran dan otoritas Allah. Ayat 22 ini adalah bagian dari pernyataan menantang yang diutarakan oleh Hizkia melalui para pengawalnya: "Tetapi kalau kamu berkata: 'Pada TUHAN, Allah kami, kami ini berharap,' bukankah Dia yang disingkirkan-Nya barang-barang korban dan mezbah-mezbah-Nya, dan yang berkata kepada Yehuda dan Yerusalem: Kepada mezbah inilah kamu akan sujud di hadapan Yerusalem?" Pernyataan ini bukan sekadar pengakuan harapan pasif, melainkan sebuah pernyataan keyakinan aktif yang didasarkan pada pemahaman tentang siapa Allah mereka.

Kekuatan sejati bukan terletak pada persenjataan atau strategi militer semata, melainkan pada keyakinan yang mendalam kepada Allah yang berdaulat. Hizkia mengingatkan bahwa TUHAN adalah sumber kekuatan mereka, dan meskipun berbagai cobaan dan ancaman datang, harapan mereka tertuju pada-Nya. Perkataan sang kepala juru minum adalah upaya untuk menggoyahkan iman tersebut, menjadikannya tampak sia-sia. Namun, iman yang sejati tidak diukur dari kemudahan atau kelancaran situasi, melainkan dari kesetiaan dan kepercayaan di tengah kesulitan.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa dalam hidup, kita seringkali menghadapi "raja-raja" duniawi yang mencoba merendahkan iman kita, mempertanyakan kepercayaan kita kepada Tuhan, dan menyombongkan kekuatan serta argumen mereka. Mereka mungkin menggunakan logika, pengalaman, atau tekanan sosial untuk membuat kita ragu. Namun, seperti Hizkia, kita dipanggil untuk teguh pada iman kita. Kita perlu memahami bahwa Allah kita bukan hanya objek harapan, tetapi pribadi yang aktif berkuasa dan menjaga umat-Nya. Ketika kita berkata, "Pada TUHAN kami berharap," itu berarti kita mengakui kuasa-Nya yang melampaui segala ancaman duniawi. Kebenaran firman Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam 2 Raja-Raja 18:22, adalah jangkar bagi iman kita, mengingatkan kita bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka yang bersandar pada-Nya, meskipun badai kehidupan menerpa.