"Dan Rehabeam pergi ke Sikhem, sebab seluruh orang Israel telah datang ke Sikhem untuk menobatkan dia menjadi raja."
Kisah perpecahan Kerajaan Israel, sebagaimana dicatat dalam 2 Tawarikh 10:1, menandai sebuah titik balik dramatis dalam sejarah bangsa pilihan Allah. Ayat ini menggambarkan momen krusial ketika Rehabeam, putra Salomo, bersiap untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Namun, apa yang seharusnya menjadi perayaan penyatuan dan kelanjutan kekuasaan, justru menjadi awal dari perpecahan yang akan memecah belah bangsa Israel menjadi dua kerajaan terpisah: Kerajaan Israel di utara dan Kerajaan Yehuda di selatan.
Fokus dari ayat pembuka ini adalah kedatangan Rehabeam ke Sikhem. Sikhem bukan sembarang tempat; ia adalah kota bersejarah yang memiliki arti penting dalam tradisi Israel. Di sinilah Yakub pernah membangun mezbah, dan di sinilah Musa pernah memerintahkan diberkati dan dikutuk setelah bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian. Pemilihan Sikhem sebagai lokasi penobatan menunjukkan bahwa para pemimpin Israel bermaksud untuk menegaskan kembali identitas dan persatuan mereka di tempat yang penuh makna spiritual. Seluruh orang Israel datang ke sana, menunjukkan bahwa ini adalah acara nasional yang dihadiri oleh perwakilan dari seluruh suku.
Namun, di balik gambaran penobatan yang tampak normal, tersembunyi ketegangan yang mendalam. Kepergian Salomo, yang di masa pemerintahannya Israel mengalami puncak kemakmuran dan kekuasaan, meninggalkan warisan yang kompleks. Meskipun Salomo dikenal karena kebijaksanaannya, di akhir hayatnya ia menyimpang dari jalan Tuhan dan mendirikan tempat-tempat penyembahan berhala untuk para istri asingnya. Lebih penting lagi, beban pajak yang berat yang dikenakan Salomo untuk membiayai proyek-proyek megahnya telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat jelata.
Kedatangan Rehabeam ke Sikhem bukanlah sekadar upacara seremonial. Ini adalah kesempatan bagi rakyat untuk menyuarakan keluhan mereka dan menetapkan syarat-syarat pemerintahan yang baru. Para tua-tua Israel, yang mewakili aspirasi rakyat, mengajukan permohonan yang sangat masuk akal: mereka meminta agar beban kerja dan pajak yang berat di bawah pemerintahan Salomo diringankan. Mereka menyatakan kesediaan mereka untuk melayani Rehabeam jika ia memenuhi permintaan ini.
Namun, kisah selanjutnya menunjukkan kegagalan Rehabeam dalam menanggapi keluhan rakyat dengan bijak. Alih-alih mendengarkan nasihat para tua-tua yang berpengalaman, ia malah lebih mendengarkan saran dari teman-teman sebayanya yang muda dan kurang bijaksana. Saran ini mendorongnya untuk bersikap lebih keras dan menuntut daripada ayahnya. Akibatnya, Rehabeam menolak permintaan rakyat, bahkan mengancam akan membuat mereka memikul beban yang lebih berat lagi. Keputusan yang gegabah inilah yang memicu kemarahan luar biasa di kalangan suku-suku utara. Mereka berseru, "Bagian apa kita dapat pada Daud? Kita tidak punya warisan pada anak Isai! Baiklah pulang ke kemahmu, hai Israel! Sekarang, perhatikanlah rumahmu sendiri, hai Daud!" Seruan ini menandai penolakan mereka terhadap dinasti Daud dan pembentukan kerajaan terpisah.
Jadi, 2 Tawarikh 10:1, meskipun hanya sebuah ayat pembuka, telah membuka pintu bagi cerita tentang ketidakbijaksanaan, ketidakadilan, dan konsekuensi tragis dari kepemimpinan yang buruk. Perpecahan ini memiliki dampak mendalam, melemahkan Israel di mata bangsa-bangsa lain dan menjadi latar belakang bagi banyak peristiwa selanjutnya dalam sejarah keselamatan. Permulaan yang tampak sederhana ini menjadi pengingat abadi bahwa kepemimpinan yang bijaksana dan responsif terhadap kebutuhan rakyat adalah kunci untuk menjaga kesatuan dan keutuhan.