"Oleh sebab itu raja tidak mau mendengarkan permintaan rakyat itu, sebab kejadian itu berasal dari pada Allah, supaya TUHAN menepati firman-Nya, yang telah diucapkan-Nya dengan perantaraan Ahia, orang Silo itu."
Ayat 2 Tawarikh 10:15 merupakan salah satu poin krusial dalam kisah perpecahan Kerajaan Israel. Ayat ini merangkum keputusan Raja Rehabeam untuk tidak mengikuti nasihat bijak para tua-tua, melainkan mendengarkan saran para pemuda yang lebih muda dan kurang berpengalaman. Konsekuensinya, rakyat banyak menuntut keringanan dari beban berat yang ditinggalkan ayahnya, Salomo. Namun, Rehabeam, yang baru saja dinobatkan, memilih pendekatan yang keras dan menolak tuntutan mereka. Pernyataan bahwa kejadian ini "berasal dari pada Allah" seringkali menimbulkan pertanyaan. Ini bukanlah berarti Allah secara langsung menyebabkan penolakan Rehabeam, melainkan bahwa dalam rencana ilahi-Nya, situasi ini merupakan bagian dari jalannya sejarah umat-Nya. Allah mengizinkan atau menggunakan kejadian ini untuk menggenapi firman-Nya yang telah disampaikan melalui nabi Ahia. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam keputusan manusia yang keliru sekalipun, ada campur tangan ilahi yang mengarahkan pada tujuan-Nya yang lebih besar, meskipun konsekuensinya berat bagi umat-Nya. Pengalaman Rehabeam ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Memilih penasihat yang tepat adalah fundamental. Nasihat dari para tua-tua yang telah berpengalaman dalam pemerintahan dan kehidupan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan rakyat. Sebaliknya, nasihat dari para pemuda seringkali didasarkan pada ambisi dan kekerasan tanpa pertimbangan yang matang terhadap dampaknya. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan dapat berujung pada kehancuran. Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah mengawasi dan turut campur dalam urusan kerajaan manusia. Dia tidak hanya pengamat pasif, tetapi aktif dalam menggenapi janji dan nubuat-Nya. Ini memberikan perspektif bahwa keputusan-keputusan yang tampaknya kecil dalam kehidupan pemimpin atau bahkan individu dapat memiliki implikasi yang luas, yang semuanya berada di bawah kendali dan tujuan Allah. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, ketegasan dan belas kasih. Raja Rehabeam memilih jalur ketegasan yang brutal, yang berujung pada pemisahan kerajaan menjadi dua. Kisah ini menjadi studi kasus abadi tentang bagaimana penolakan terhadap nasihat yang baik dan kesombongan dapat membawa konsekuensi tragis. Kita diajak untuk merenungkan bagaimana kita sebagai individu atau pemimpin, menanggapi nasihat dan bagaimana kita menavigasi keputusan-keputusan penting dalam hidup, selalu mengingat bahwa ada hikmat ilahi yang dapat membimbing kita jika kita mau mendengarkannya. Kejadian ini mengingatkan bahwa kesuksesan dalam kepemimpinan tidak hanya terletak pada kekuatan politik atau militer, tetapi pada kemampuan untuk mendengarkan, belajar, dan bertindak dengan bijaksana, sesuai dengan kehendak ilahi.