Ayat 2 Tawarikh 10:17 ini merupakan sebuah penutup dari narasi tentang perpecahan besar yang melanda Kerajaan Israel setelah kematian Raja Salomo. Peristiwa ini menandai titik balik krusial dalam sejarah bangsa Israel, memecah belah mereka menjadi dua kerajaan yang terpisah: Kerajaan Israel di utara (sepuluh suku) dan Kerajaan Yehuda di selatan (dua suku, yaitu Yehuda dan Benyamin). Keputusan yang diambil oleh Rehabam, putra Salomo, untuk tidak mendengarkan nasihat para tua-tua dan malah mengikuti saran para pemuda yang lebih keras, berujung pada pemberontakan besar.
Fokus pada ayat ini adalah pernyataan bahwa seluruh penduduk Israel yang mendiami wilayah Yehuda memilih untuk tetap setia kepada Rehabam. Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perpecahan secara politik, mayoritas yang tinggal di wilayah selatan Kerajaan Yehuda tetap mengakui otoritas Rehabam sebagai raja mereka. Mereka tidak ikut serta dalam pemberontakan sepuluh suku yang kemudian mendirikan kerajaan baru di utara dengan Yerobeam sebagai rajanya.
Peristiwa ini tidak hanya sekadar pergantian kekuasaan, tetapi juga memiliki implikasi teologis dan historis yang mendalam. Perpecahan ini seringkali dihubungkan dengan ketidaktaatan Salomo dan bangsanya terhadap hukum Tuhan. Pemecahan kerajaan menjadi pengingat keras bahwa kesatuan dan kemakmuran bangsa sangat bergantung pada kesetiaan mereka kepada perjanjian dengan Allah. Ketika kesetiaan itu retak, konsekuensinya adalah perpecahan dan kerentanan.
Bagi penduduk Yehuda, kesetiaan mereka kepada Rehabam bisa jadi didasari oleh berbagai faktor. Mungkin ada ikatan tradisi yang kuat dengan dinasti Daud, karenaYehuda adalah suku tempat Daud berasal dan Yerusalem, pusat ibadah, berada di wilayah mereka. Selain itu, mereka mungkin melihat perpecahan sebagai ancaman terhadap stabilitas dan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah. Memilih untuk tetap bersatu di bawah satu raja, meskipun raja tersebut membuat keputusan yang buruk, mungkin dianggap sebagai pilihan yang lebih aman dalam jangka pendek.
Namun, sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa perpecahan ini membawa konsekuensi jangka panjang yang pahit bagi kedua kerajaan. Kerajaan Israel di utara dengan cepat jatuh ke dalam penyembahan berhala dan mengalami berbagai pemberontakan serta pergantian raja yang tidak stabil, hingga akhirnya ditaklukkan oleh Asiria. Kerajaan Yehuda di selatan, meskipun lebih stabil dalam dinasti Daud dan tetap berpusat pada ibadah di Bait Suci, juga mengalami periode kemerosotan moral dan akhirnya dihancurkan oleh Babel. Ayat ini, meskipun terdengar sederhana, menyimpan kisah tentang pilihan, kesetiaan, dan konsekuensi yang membentuk nasib sebuah bangsa.
Studi atas 2 Tawarikh 10:17 mengingatkan kita pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dan mendengarkan nasihat. Keputusan yang gegabah oleh seorang pemimpin dapat memicu reaksi berantai yang berujung pada perpecahan. Bagi umat beriman, ayat ini juga menekankan bahwa kesetiaan kepada Tuhan adalah fondasi yang paling penting, dan ketika fondasi itu goyah, bahkan kesatuan politik sekalipun tidak dapat menjamin keberlangsungan bangsa.