"Ia mencari Allah ayahnya, hidup menurut segala perintah-Nya, dan tidak menurut kelakuan Israel."
Ayat 2 Tawarikh 17:4 menggarisbawahi sebuah prinsip fundamental dalam kehidupan rohani yang dipraktikkan oleh Raja Yehosafat. Ia bukan sekadar meneruskan tahta dari ayahnya, Asa, tetapi juga meneruskan warisan spiritual yang berharga. Tindakan pertama dan terpenting yang dilakukan Yehosafat adalah "mencari Allah ayahnya". Ini bukan sekadar formalitas atau tradisi, melainkan sebuah gerakan hati yang tulus dan proaktif untuk berhubungan dengan Sang Pencipta.
Dalam konteks sejarah Israel, masa pemerintahan Yehosafat adalah periode yang signifikan. Ia memerintah Kerajaan Yehuda di selatan, sementara kerajaan utara, Israel, seringkali tersesat dalam penyembahan berhala dan praktik keagamaan yang menyimpang. Ayat ini secara tegas membedakan jalan Yehosafat dari "kelakuan Israel" yang pada umumnya menjauhi Tuhan.
"Hidup menurut segala perintah-Nya" adalah konsekuensi logis dari mencari Tuhan. Pencarian yang tulus akan menghasilkan keinginan untuk menyenangkan Tuhan, dan itu terwujud dalam ketaatan yang sungguh-sungguh. Perintah-perintah Tuhan bukanlah beban yang memberatkan, melainkan panduan yang membawa kehidupan, berkat, dan kedamaian. Yehosafat memahami bahwa kepemimpinan yang efektif dan kerajaan yang diberkati hanya dapat dibangun di atas fondasi kebenaran dan ketaatan kepada firman Tuhan.
Perbedaan antara jalan Yehosafat dan kelakuan Israel menyoroti pentingnya pilihan pribadi dalam iman. Meskipun tumbuh dalam lingkungan yang sama, individu memiliki kebebasan untuk memilih untuk mengikuti Tuhan atau berpaling dari-Nya. Yehosafat memilih untuk berpegang teguh pada ajaran dan ketetapan ilahi, menolak godaan untuk mengikuti arus umum yang menyimpang. Keputusan ini tidak hanya membentuk karakter pribadinya, tetapi juga secara drastis memengaruhi kesejahteraan kerajaannya.
Ketaatan Yehosafat bukanlah sekadar kepatuhan lahiriah, tetapi mencerminkan hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Ia tidak hanya menjalankan ritual keagamaan, tetapi menjadikan firman Tuhan sebagai kompas hidupnya. Inilah esensi dari iman yang hidup: sebuah komitmen yang teguh untuk berjalan dalam kebenaran Tuhan, bahkan ketika jalan itu berbeda dari jalan kebanyakan orang. Ayat ini menjadi pengingat abadi bagi setiap orang, baik pemimpin maupun individu biasa, bahwa mencari Tuhan dan hidup sesuai dengan perintah-Nya adalah kunci untuk kehidupan yang bermakna dan diberkati.
Lebih lanjut, tindakan Yehosafat ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi pengaruh dunia yang seringkali mengajak kita untuk berkompromi dengan nilai-nilai ilahi. Ia menunjukkan bahwa integritas rohani dapat dipertahankan dengan terus-menerus mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan, serta menjadikan firman-Nya sebagai standar bagi setiap aspek kehidupan. Ini adalah teladan kepemimpinan yang berdasarkan iman, di mana ketaatan kepada Tuhan menjadi prioritas utama, bahkan di tengah tantangan dan tekanan eksternal.