2 Tawarikh 18 10: Peringatan Penting bagi Raja

"Dan raja-raja dari Israel dan Yosafat, raja Yehuda, duduk masing-masing di atas takhtanya, berpakaian kebesaran, di suatu tempat pengirikan di depan pintu gerbang Samaria, dan semua nabi bernubuat di depan mereka."

Ilustrasi dua raja duduk di takhta dikelilingi para nabi. Perhatikan Kebenaran

Ayat dari 2 Tawarikh 18:10 menghadirkan sebuah gambaran yang kuat mengenai sebuah pertemuan penting antara raja-raja Israel dan Yehuda, bersama dengan kehadiran para nabi. Kejadian ini terjadi di sebuah tempat pengirikan di dekat gerbang Samaria, sebuah lokasi yang strategis dan terbuka. Raja Ahab dari Israel dan Raja Yosafat dari Yehuda duduk di takhta masing-masing, mengenakan pakaian kebesaran mereka. Ini menunjukkan otoritas dan status mereka sebagai pemimpin tertinggi. Di hadapan mereka, sekelompok nabi terlihat berdiri, siap untuk menyampaikan pesan mereka.

Meskipun sekilas terlihat sebagai momen kenegaraan yang agung, namun dalam konteks cerita selanjutnya, ayat ini justru menjadi titik tolak untuk sebuah peringatan krusial. Kehadiran para nabi di hadapan raja-raja bukanlah semata-mata untuk memberikan dukungan atau pujian. Dalam banyak kisah Alkitab, nabi-nabi seringkali diutus Tuhan untuk menyampaikan kebenaran, teguran, atau bahkan nubuat tentang masa depan. Mereka adalah suara Tuhan di tengah-tengah kekuasaan duniawi.

Penting untuk dicatat bagaimana ayat ini menggambarkan suasana tersebut. Raja-raja duduk "berpakaian kebesaran," sebuah simbol kemegahan dan kekuasaan. Namun, para nabi "bernubuat di depan mereka." Ini menyiratkan adanya komunikasi yang langsung dan tanpa perantara. Dalam situasi seperti ini, kebenaran yang disampaikan oleh para nabi memiliki potensi untuk sangat berpengaruh, baik untuk membangun maupun menghancurkan.

Kisah yang mengikuti ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua nabi yang hadir menyampaikan pesan yang datang dari Tuhan. Ada beberapa nabi yang dengan sengaja memberikan perkataan palsu demi menyenangkan raja. Raja Ahab, yang dikenal karena kejahatannya, tampaknya lebih suka mendengarkan nabi-nabi yang memberikan kabar baik, meskipun kabar itu tidak benar. Sebaliknya, Nabi Mikha, yang kemudian bersuara dengan kebenaran dari Tuhan, justru menghadapi penolakan dan perlakuan buruk.

Oleh karena itu, 2 Tawarikh 18:10 bukan hanya sekadar deskripsi peristiwa, tetapi juga sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya mendengarkan kebenaran, terutama ketika kebenaran itu datang dari sumber yang ilahi. Para pemimpin, sebagaimana raja-raja dalam ayat ini, memiliki tanggung jawab besar untuk mendengarkan tidak hanya suara-suara yang menyenangkan hati, tetapi juga suara-suara yang memanggil mereka untuk hidup dalam kebenaran dan keadilan. Kemegahan dan kekuasaan yang dimiliki tidak serta-merta membuat seseorang kebal dari konsekuensi mengabaikan firman Tuhan. Sejarah telah membuktikan bahwa mendengarkan nabi-nabi palsu seringkali berujung pada kehancuran, sementara mendengarkan nabi-nabi Tuhan membawa keselamatan dan berkat.

Konteks dari ayat ini memberikan pemahaman mendalam mengenai bahaya dari para penasihat yang hanya ingin menyenangkan penguasa, dan bahaya bagi penguasa yang hanya mau mendengar apa yang mereka sukai. Tuhan melalui para nabi-Nya selalu memberikan kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Namun, pilihan untuk menerima atau menolak kebenaran itu selalu berada di tangan individu, termasuk para pemimpin mereka.