Ayat 2 Tawarikh 18:26, meskipun singkat, mengandung sebuah pernyataan yang kuat dan seringkali terabaikan: "Dan Aufia, inilah yang berkata: 'Sampai kapan aku akan berbicara dengan musuh-musuhku dengan perkataan yang sia-sia?'" Kalimat ini keluar dari mulut Aufia, seorang tokoh yang dihadapkan pada situasi penuh manipulasi dan kebohongan. Pertanyaan retorisnya menyiratkan keputusasaan dan kejenuhan mendalam terhadap dialog yang tidak membawa kebaikan atau kebenaran.
Dalam konteks narasi kitab Tawarikh, Aufia sedang berbicara kepada raja Ahab dari Israel dan Yosafat dari Yehuda. Raja Ahab terdesak untuk berperang melawan Aram, namun ia mencari validasi dari empat ratus nabi yang dikuasai oleh Roh Kebohongan. Nasihat mereka bersifat memanipulasi, menjanjikan kemenangan palsu demi menyenangkan raja. Di tengah kekacauan ini, Nabi Mikha bin Yimla, yang berbicara atas nama Tuhan, hadir untuk menyampaikan kebenaran yang pahit. Namun, para nabi palsu lainnya, termasuk Aufia yang kemungkinan besar adalah salah satu dari mereka yang menentang Mikha, mengungkapkan keengganannya untuk terus terlibat dalam percakapan yang jelas-jelas didominasi oleh kebohongan.
"Perkataan yang sia-sia" merujuk pada segala bentuk komunikasi yang tidak memiliki dasar kebenaran, tidak membangun, dan hanya membuang-buang energi serta waktu. Ini bisa berupa kebohongan terang-terangan, pujian palsu, propaganda yang menyesatkan, atau perdebatan yang sengaja dipelintir demi kepentingan pribadi. Dalam kasus ini, Aufia menyadari bahwa percakapannya dengan musuh-musuhnya (kemungkinan besar merujuk pada para nabi lain yang berbicara kebohongan, atau bahkan kepada Mikha yang membawa kebenaran yang tidak mereka inginkan) sudah kehilangan maknanya karena dipenuhi oleh ketidakjujuran dan penolakan terhadap realitas.
Kisah Aufia memberikan pelajaran yang relevan hingga kini. Kita seringkali dihadapkan pada situasi serupa: di mana kebohongan tampak lebih mudah atau lebih menguntungkan daripada kebenaran. Lingkungan kerja yang kompetitif, media sosial yang penuh misinformasi, hingga percakapan sehari-hari bisa dipenuhi oleh "perkataan yang sia-sia." Pertanyaan Aufia mendorong kita untuk merefleksikan jenis komunikasi yang kita terlibat di dalamnya. Apakah percakapan kita dibangun di atas fondasi kejujuran? Apakah kita berani menyuarakan kebenaran, meskipun itu tidak populer atau sulit?
Keputusan Aufia, meskipun mungkin diwarnai kekalahan spiritual, adalah sebuah pengakuan akan kehampaan kebohongan. Ia seolah berkata, "Lebih baik diam daripada memperpanjang lingkaran dusta." Ini bukan berarti kita harus menghindari dialog sama sekali, tetapi kita harus memiliki standar yang tinggi terhadap integritas perkataan kita. Ketika kita memilih untuk berbicara, biarlah kata-kata kita membawa kejelasan, membangun pemahaman, dan pada akhirnya, mencerminkan kebenaran.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengingatkan kita akan bahaya persuasi yang tidak berdasarkan fakta. Empat ratus nabi yang mengatakan apa yang raja inginkan, termasuk Aufia, menunjukkan betapa mudahnya massa terbuai oleh janji-janji kosong. Hal ini menekankan pentingnya pemikiran kritis dan keberanian untuk mencari sumber informasi yang terpercaya, serta kesiapan untuk menolak narasi yang menyesatkan. "Perkataan yang sia-sia" tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga dapat merusak orang lain dan tatanan sosial.
Pada akhirnya, pertanyaan Aufia adalah panggilan untuk integritas dalam setiap komunikasi. Ia mengingatkan kita bahwa ada batas di mana dialog menjadi tidak produktif dan bahkan merusak, terutama ketika kebohongan telah menjadi bahasa utama. Menyadari dan menolak "perkataan yang sia-sia" adalah langkah awal untuk membangun interaksi yang lebih bermakna dan berintegritas, baik dalam skala pribadi maupun kolektif.