Ayat 2 Tawarikh 18:27 menghadirkan momen krusial dalam narasi Alkitab, sebuah pengingat kuat akan pentingnya integritas dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran, bahkan ketika dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Dalam konteksnya, raja Yosafat dari Yehuda bersekutu dengan raja Ahab dari Israel, sebuah aliansi yang berujung pada rencana untuk berperang melawan Aram di Ramot-Gilead. Ahab, yang terdorong oleh para nabi palsu yang memberikan ramalan menyenangkan, mengundang Yosafat untuk turut serta.
Namun, Yosafat, yang memiliki hati yang tulus kepada Tuhan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia meminta agar seorang nabi Tuhan yang sesungguhnya dapat dimintai pendapat. Ahab, dengan enggan, memanggil Mikha bin Yimla, seorang nabi yang dikenal karena perkataannya yang jujur dan seringkali keras. Kedatangan Mikha menjadi titik balik penting dalam narasi ini. Ketika Mikha diinterogasi, ia pertama kali memberikan jawaban yang sarkastik, menyindir para nabi lain yang telah menyenangkan raja. Namun, setelah didesak, Mikha menyampaikan pesan yang gamblang dari Tuhan: bahwa Israel akan dikalahkan dan raja Ahab akan mati dalam pertempuran.
Pernyataan Mikha ini tentu saja sangat tidak populer di kalangan raja dan para penasihatnya. Ia bahkan sampai dipenjara dan diberi makan roti dan air penderitaan. Namun, justru di bawah ancaman dan penolakan inilah, Mikha mengeluarkan kata-kata penutup yang tercatat dalam ayat ini: "Jika engkau pulang dengan selamat, berarti TUHAN tidak berbicara melalui aku." Pernyataan ini adalah deklarasi iman yang luar biasa. Mikha bersedia mempertaruhkan kredibilitasnya, bahkan hidupnya, demi kebenaran firman Tuhan. Ia sadar bahwa keselamatannya sendiri menjadi bukti otentik kebenaran pesannya.
Lebih dari itu, Mikha menambahkan, "Dengarlah, hai sekalian bangsa!" Ini adalah panggilan universal, sebuah seruan bahwa kebenaran ilahi tidak terbatas pada satu bangsa atau satu raja. Kebenaran Tuhan relevan untuk semua orang. Pesan ini mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan, kita akan sering dihadapkan pada pilihan antara kata-kata yang menyenangkan dan kebenaran yang mungkin menyakitkan. Seperti Mikha, kita dipanggil untuk memiliki keberanian moral, untuk berdiri teguh pada prinsip-prinsip yang benar, dan untuk tidak takut menyuarakan kebenaran, betapapun sulitnya. Ayat ini menjadi mercusuar, menerangi jalan bagi siapa saja yang mencari integritas dan hikmat ilahi.