"Tetapi raja berkata kepada orang itu: "Kita ini siapa, sehingga kami boleh menyangka, bahwa kami akan berjuang melawan tentara yang besar ini? Sebab sesungguhnya, hari ini kita tidak sanggup melawan mereka, karena bukan dari Tuhan datangnya kekuatan itu."
Ayat 2 Tawarikh 25:9 menyajikan sebuah momen refleksi mendalam dari Raja Amazia, yang dihadapkan pada kekuatan militer yang tampaknya superior dari musuhnya. Di tengah tekanan perang dan potensi kehancuran, sang raja merenungkan sumber kekuatan yang sebenarnya. Pernyataannya, "Sebab sesungguhnya, hari ini kita tidak sanggup melawan mereka, karena bukan dari Tuhan datangnya kekuatan itu," bukan sekadar pengakuan atas kelemahan, melainkan sebuah pencerahan spiritual yang krusial.
Konteks ayat ini adalah ketika Amazia, raja Yehuda, telah mengalahkan Edom di Lembah Asam dan kemudian dengan sombongnya menantang raja Israel. Ia sangat percaya diri dengan kemenangannya sebelumnya dan merasa mampu menghadapi kekuatan manapun. Namun, ketika seorang nabi datang kepadanya dan mengingatkan bahwa kekuatan sejatinya berasal dari Tuhan, bukan dari jumlah tentara atau strategi perang yang canggih, barulah Amazia menyadari kesalahannya. Ia sadar bahwa keberanian dan kemenangan yang sejati tidak datang dari kemampuan manusia semata, tetapi dari berkat dan penyertaan Ilahi.
Pesan dari ayat ini bergema kuat hingga kini. Dalam kehidupan modern, kita seringkali dihadapkan pada tantangan yang terasa berat, entah itu dalam karier, pendidikan, hubungan pribadi, atau bahkan kesehatan. Dorongan untuk mengandalkan kekuatan diri sendiri, kecerdasan, atau sumber daya materi sangatlah kuat. Kita diajarkan untuk menjadi mandiri dan bergantung pada kemampuan kita. Namun, Firman Tuhan melalui 2 Tawarikh 25:9 mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Betapapun besar usaha, persiapan, atau bakat yang kita miliki, ada saatnya kita membutuhkan sesuatu yang lebih.
Pengakuan Amazia bahwa kekuatan "bukan dari Tuhan" adalah titik balik. Ini adalah pengakuan kerendahan hati yang membuka pintu bagi intervensi ilahi. Seringkali, kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan justru menjadi penghalang bagi berkat Tuhan. Ketika kita menyadari bahwa segala kekuatan dan kemampuan kita berasal dari Sang Pencipta, dan bahwa tanpa Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa, maka kita membuka diri untuk menerima pertolongan dan bimbingan-Nya yang tak terbatas.
Oleh karena itu, ayat ini menjadi pengingat yang berharga untuk selalu mengaitkan setiap usaha dan pencapaian kita dengan Tuhan. Sebelum menghadapi ujian, pertandingan, negosiasi, atau bahkan sekadar memulai hari, mari kita merenungkan sumber kekuatan sejati. Mengakui bahwa kekuatan bukan hanya berasal dari diri sendiri, tetapi terutama dari Tuhan, akan memberikan perspektif yang berbeda. Ini bukan berarti mengabaikan usaha dan tanggung jawab kita, melainkan menyadari bahwa usaha terbaik sekalipun akan lebih diberkati dan berdaya jika dilakukan dengan hati yang bersandar pada Tuhan. Ini adalah tentang keseimbangan antara kerja keras manusia dan kepercayaan pada penyelenggaraan ilahi, sebuah keseimbangan yang akan membawa kita pada kemenangan yang sesungguhnya, baik di mata dunia maupun di hadapan Tuhan.