Maka Azarya, seorang imam kepala, dan delapan puluh orang imam Lewi yang gagah perkasa, mengikutinya.
Ayat 2 Tawarikh 26:17 ini membawa kita pada sebuah momen krusial dalam narasi Kerajaan Yehuda, khususnya berkaitan dengan raja Uzia. Ayat ini secara singkat namun padat menggambarkan konfrontasi yang terjadi antara otoritas kerajaan dan keimaman, serta konsekuensinya. Uzia, seorang raja yang awalnya diberkati dan membawa kemakmuran bagi Yehuda, pada akhirnya tergoda untuk melampaui batas kekuasaannya. Ia bermaksud untuk membakar kemenyan di mezbah dupa di Bait Suci, sebuah tugas yang secara eksklusif hanya boleh dilakukan oleh para imam yang ditunjuk Tuhan. Perbuatan ini merupakan bentuk kesombongan dan pemberontakan terhadap tatanan ilahi yang telah ditetapkan.
Menarik untuk dicatat bahwa bukan hanya Uzia yang menentang firman Tuhan, tetapi ia juga menolak teguran para imam. Ayat ini mencatat bahwa Azarya, seorang imam kepala, beserta delapan puluh orang imam Lewi yang gagah perkasa, dengan berani berdiri menentang tindakan raja. Keberanian mereka patut diacungi jempol. Mereka memahami bahwa menjaga kekudusan dan ketertiban Bait Suci lebih penting daripada menyenangkan hati raja yang sedang dalam kesesatan. Mereka adalah penjaga gerbang rohani, yang ditugaskan untuk memastikan bahwa yang kudus tetap kudus, dan yang tidak kudus tidak melanggar batas. Tindakan mereka adalah demonstrasi kesetiaan pada Tuhan di atas segalanya, bahkan ketika berhadapan dengan figur otoritas tertinggi di negeri itu.
Kisah ini mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya memelihara keseimbangan antara otoritas duniawi dan spiritual. Raja Uzia, meskipun memiliki kekuasaan sipil yang besar, tidak memiliki hak untuk masuk dan melakukan tugas keimaman. Pelanggaran terhadap batas ini berujung pada murka Tuhan. Sebaliknya, para imam, yang seharusnya tunduk kepada raja, dalam hal ini menunjukkan bahwa ada batasan yang tidak boleh dilanggar oleh penguasa sipil, terutama yang berkaitan dengan urusan ilahi. Ayat ini menekankan bahwa tidak ada otoritas, sekalipun raja, yang berada di atas otoritas Tuhan. Kepatuhan pada prinsip-prinsip ilahi adalah fondasi yang tidak dapat ditawar, bahkan dalam struktur kekuasaan yang paling kuat sekalipun.
Konsekuensi dari tindakan Uzia dan penolakan terhadap teguran para imam sangatlah serius. Tuhan menghukum Uzia dengan penyakit kusta, yang membuatnya terpisah dari kehidupan normal dan bahkan dari Bait Suci. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa Tuhan tidak akan mentolerir kesombongan dan pelanggaran terhadap ketetapan-Nya. Namun, ayat 2 Tawarikh 26:17 sendiri lebih fokus pada tindakan teguran dan keberanian para imam. Ia menjadi saksi bahwa Tuhan juga bekerja melalui orang-orang-Nya yang setia, yang bersedia berbicara kebenaran bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Kisah Uzia, yang dipicu oleh ayat ini, menjadi contoh klasik bagi setiap orang, baik pemimpin maupun rakyat biasa, untuk senantiasa rendah hati, menghormati batas-batas yang ditetapkan Tuhan, dan mendengarkan teguran yang datang dari sumber yang benar.