Siapakah di antara mereka yang telah ditawan? Siapakah di antara mereka yang telah diangkut sebagai jarahan? Siapakah yang mendengarkan suara-Nya? Siapakah yang memegang-Nya dan membiarkan-Nya tetap ditawan?
Ayat Yesaya 42:24 ini menghadirkan sebuah pertanyaan retoris yang mendalam bagi bangsa Israel pada masanya. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar serangkaian investigasi, melainkan sebuah ungkapan kekecewaan dan penyesalan atas kondisi spiritual umat Allah. Bangsa Israel, yang seharusnya menjadi umat pilihan Tuhan, telah jatuh ke dalam perbudakan dan pembuangan. Mereka ditawan oleh bangsa lain, hartanya dijarah, dan identitas mereka terancam. Namun, inti dari pertanyaan ini adalah: "Siapakah yang mendengarkan suara-Nya?"
Nabi Yesaya dengan tegas menyoroti kegagalan umat Allah untuk mendengarkan dan menaati firman Tuhan. Ketika Tuhan berbicara melalui para nabi-Nya, menawarkan bimbingan, peringatan, dan janji-janji penebusan, mereka justru memilih untuk tuli. Ketiadaan pendengaran ini bukan sekadar ketidakpedulian, tetapi sebuah penolakan aktif terhadap otoritas dan kehendak ilahi. Akibatnya, mereka terjerumus ke dalam kondisi yang menyedihkan, kehilangan kemerdekaan dan kekayaan mereka, menjadi sasaran penindasan. Pertanyaan "Siapakah yang memegang-Nya dan membiarkan-Nya tetap ditawan?" menyiratkan bahwa sebenarnya Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka. Justru merekalah yang melepaskan pegangan mereka dari Tuhan.
Meskipun ayat ini ditulis ribuan tahun yang lalu, pesannya tetap relevan bagi kita di era modern. Kita hidup di zaman yang penuh dengan kebisingan informasi, namun seringkali kesulitan untuk mendengar suara Tuhan yang lembut dan penuh kasih. Godaan dunia, kesibukan sehari-hari, dan suara-suara lain yang bersaing dapat membuat kita menjadi tuli terhadap panggilan ilahi. Yesaya 42:24 mengingatkan kita akan bahaya mengabaikan kebenaran firman Tuhan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita membuka diri terhadap penawanan spiritual—terjebak dalam dosa, kekhawatiran, atau ilusi dunia.
Solusi yang ditawarkan oleh Tuhan, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam ayat ini, selalu sama: kembali kepada-Nya. Kepatuhan dimulai dari pendengaran. Ketika kita secara sengaja meluangkan waktu untuk merenungkan firman Tuhan, berdoa, dan mencari hadirat-Nya, kita membuka saluran komunikasi yang terputus. Tuhan tidak pernah berhenti berbicara, tetapi kitalah yang perlu membersihkan telinga hati kita. Ayat ini menjadi panggilan untuk introspeksi: Sudahkah kita benar-benar mendengarkan suara Tuhan? Adakah hal-hal dalam hidup kita yang membuat kita menjadi tawanan, yang seharusnya bisa dihindari jika kita lebih setia mendengarkan tuntunan-Nya? Mari kita jawab panggilan ini dengan hati yang terbuka dan telinga yang siap mendengar, agar kita tidak menjadi seperti umat Israel yang tertawan karena ketidaktaatan.