"Pada tahun pertama pemerintahannya, dalam bulan pertama, ia membuka pintu-pintu rumah TUHAN dan memperbaikinya." (2 Tawarikh 29:3)
Ayat ini berasal dari Kitab 2 Tawarikh, sebuah catatan sejarah penting dalam Alkitab yang mengisahkan kerajaan-kerajaan Israel dan Yehuda. Fokus kita kali ini adalah 2 Tawarikh 29:3, yang mencatat tindakan pertama Raja Hizkia setelah naik takhta. Tindakan ini bukan sekadar perbaikan fisik, melainkan sebuah deklarasi yang kuat tentang komitmennya untuk mengembalikan ibadah yang benar kepada Allah.
Setelah masa pemerintahan ayahnya, Raja Ahas, yang dikenal karena kesesatannya dan membuang banyak praktik ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan, Bait Suci Yerusalem berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Pintu-pintu rumah TUHAN tertutup, altar-altar asing didirikan, dan ibadah kepada Allah terlupakan. Hizkia, yang baru saja mewarisi takhta, segera menyadari betapa krusialnya memulihkan hubungan umat dengan Tuhan.
"Pada tahun pertama pemerintahannya, dalam bulan pertama, ia membuka pintu-pintu rumah TUHAN dan memperbaikinya." Kalimat sederhana ini mengandung makna yang sangat dalam. Membuka kembali pintu-pintu Bait Suci berarti membuka kembali akses umat kepada hadirat Allah. Ini adalah simbol terbukanya kembali komunikasi antara manusia dan Sang Pencipta. Perbaikan yang dilakukan bukan hanya sekadar menambal yang rusak, tetapi merupakan upaya revitalisasi spiritual yang total.
Tindakan Hizkia menunjukkan sebuah prinsip fundamental dalam iman Kristen: pemulihan hubungan dengan Tuhan adalah prioritas utama. Ketika ibadah diselewengkan atau diabaikan, seluruh aspek kehidupan jemaat akan terpengaruh. Dengan membuka kembali Bait Suci, Hizkia mengirimkan pesan yang jelas kepada seluruh rakyat Yehuda: era baru telah dimulai, sebuah era di mana Allah akan dihormati dan ditinggikan kembali.
Lebih dari sekadar memperbaiki bangunan, Hizkia kemudian melanjutkan dengan membersihkan Bait Suci dari berhala-berhala dan altar-altar asing. Ia memanggil para imam dan orang Lew untuk menguduskan diri dan mempersembahkan korban pendamaian bagi dosa-dosa bangsa. Ini adalah langkah proaktif untuk menghapus segala sesuatu yang telah mencemari kekudusan rumah Tuhan. Peristiwa ini menjadi dasar bagi pemulihan spiritual yang luar biasa di bawah kepemimpinan Hizkia, di mana sukacita dan perayaan ibadah kembali memenuhi Yerusalem.
Dari 2 Tawarikh 29:3, kita dapat belajar bahwa memelihara kesucian tempat ibadah dan kekudusan dalam hubungan kita dengan Tuhan adalah tanggung jawab kita bersama. Seperti Hizkia, kita dipanggil untuk memastikan bahwa pintu-pintu hati kita terbuka bagi Tuhan, dan bahwa kehidupan kita mencerminkan penghormatan serta ketaatan kepada-Nya. Pemulihan ibadah seringkali dimulai dari sebuah keputusan yang sederhana namun berani: membuka kembali dan memperbaiki altar dalam kehidupan pribadi kita.
Marilah kita merenungkan apakah ada "pintu-pintu" dalam kehidupan rohani kita yang telah tertutup atau terabaikan. Dengan pertolongan Tuhan, kita dapat memulai proses perbaikan, membersihkan hati kita, dan kembali memprioritaskan ibadah yang tulus dan sepenuh hati kepada Sang Raja kekal.