2 Tawarikh 29 7: Kekudusan dan Pengharapan

"Juga telah ditutup pintu-pintu teras Rumah TUHAN dan pelita-pelita telah dipadamkan oleh mereka. Mereka tidak menyalakan bahkan ukupan atau mempersembahkan korban bakaran di Rumah TUHAN bagi Allah Israel."

Ayat 2 Tawarikh 29 ayat 7 ini menggambarkan sebuah momen penting dalam sejarah Israel, khususnya di masa pemerintahan Raja Hizkia. Penggambaran ini bukan sekadar catatan sejarah biasa, melainkan sebuah ilustrasi kuat tentang kondisi kerohanian umat yang sedang berada di titik nadir. Pintu-pintu Bait Allah yang tertutup melambangkan penolakan terhadap kehadiran Allah, pelita-pelita yang dipadamkan menyimbolkan kegelapan rohani, dan ketiadaan ukupan serta korban bakaran menandakan terputusnya hubungan ibadah kepada Sang Pencipta. Keadaan ini adalah cerminan dari penyembahan berhala dan pengabaian terhadap perintah-perintah Allah yang telah merajalela sebelumnya.

Namun, ayat ini menjadi lebih bermakna ketika ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari pasal 29 Kitab Tawarikh. Ayat ini menjadi titik tolak bagi pemulihan besar-besaran yang dipimpin oleh Raja Hizkia. Hizkia, sebagai seorang raja yang taat kepada Tuhan, menyadari parahnya kerusakan rohani yang terjadi. Dengan keberanian dan keyakinan yang teguh, ia mengambil langkah-langkah drastis untuk mengembalikan Bait Allah ke fungsinya yang semula. Ia memerintahkan para imam dan orang Lewi untuk menyucikan diri, membersihkan Bait Allah dari segala kekotoran dan berhala, serta memulihkan ibadah sesuai dengan ketetapan Tuhan.

Kekudusan Bait Allah adalah pusat dari iman Israel. Ketika Bait itu terbengkalai, bahkan ditutup, itu berarti sumber persekutuan langsung dengan Allah telah diabaikan. Penggambaran pintu yang tertutup dan pelita yang padam ini membangkitkan rasa duka dan keprihatinan yang mendalam. Ini adalah potret umat yang telah kehilangan arah, terperosok dalam kegelapan dosa dan ketidakpedulian terhadap hal-hal ilahi. Ketiadaan ukupan dan korban bakaran menunjukkan bahwa persembahan hati yang tulus dan pengakuan dosa telah lenyap dari kehidupan umat.

Namun, seperti yang telah disinggung, ayat ini juga menyimpan benih pengharapan. Keberanian Hizkia untuk membuka kembali pintu-pintu tersebut, menyalakan kembali pelita, dan memulihkan ibadah adalah bukti bahwa tidak ada situasi yang terlalu buruk bagi pemulihan jika ada kemauan untuk kembali kepada Tuhan. Ini mengajarkan kita bahwa kemerosotan rohani adalah sebuah kenyataan yang bisa terjadi, namun juga bahwa pemulihan dan kebangunan rohani adalah sebuah kemungkinan yang selalu terbuka.

Kisah Hizkia dan pemulihan Bait Allah, yang dimulai dengan gambaran suram di 2 Tawarikh 29:7, menjadi inspirasi abadi. Ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kekudusan tempat ibadah, menjaga nyala iman pribadi, dan terus-menerus mempersembahkan korban syukur dan pujian kepada Allah. Ayat ini bukan hanya sekadar firman masa lalu, tetapi sebuah panggilan untuk memeriksa kondisi rohani kita saat ini dan mengambil tindakan untuk menjaga agar "pintu-pintu" persekutuan kita dengan Tuhan tetap terbuka, "pelita-pelita" iman tetap menyala, dan "ukupan" doa serta pujian senantiasa naik kepada-Nya.

Simbol Bait Allah
Simbol Bait Allah yang terbuka dan terang