"Dan Hizkia melakukan apa yang baik, yang benar dan yang setia di hadapan TUHAN, Allahnya."
Ayat 2 Tawarikh 31:20 memberikan ringkasan yang kuat mengenai karakter dan tindakan Raja Hizkia selama masa pemerintahannya. Ayat ini bukan sekadar sebuah pernyataan deklaratif, melainkan sebuah kesaksian yang mendalam tentang kepemimpinan yang berakar pada ketaatan dan integritas di hadapan Tuhan. Frasa "apa yang baik, yang benar dan yang setia di hadapan TUHAN, Allahnya" merangkum tiga pilar utama yang menopang seluruh keberhasilan rohani dan bangsa Yehuda di bawah kepemimpinannya.
"Baik" merujuk pada tindakan-tindakan yang secara inheren sesuai dengan kehendak Tuhan, yang mencerminkan sifat-Nya yang kudus. Ini adalah tindakan yang membawa berkat dan kemakmuran, bukan hanya bagi raja itu sendiri, tetapi bagi seluruh umat. "Benar" menyiratkan keadilan dan kejujuran dalam segala hal. Hizkia tidak hanya berfokus pada ritual ibadah, tetapi juga pada penyelenggaraan pemerintahan yang adil, memastikan bahwa hukum Tuhan diterapkan secara konsisten dalam masyarakat. Ini mencakup pengembalian ibadah yang benar kepada Tuhan, pembersihan Bait Suci, dan pemulihan tata tertib rohani.
Lebih lanjut, "setia" menunjukkan sebuah komitmen yang tak tergoyahkan kepada Tuhan. Kesetiaan ini teruji dalam masa-masa sulit, seperti ancaman invasi Asyur yang dahsyat. Hizkia tidak bersandar pada kekuatannya sendiri atau pada sekutu duniawi, melainkan pada kesetiaan Tuhan yang tak pernah gagal. Kesetiaan ini termanifestasi dalam doa-doanya yang tulus, keputusannya untuk mempercayai janji-janji Tuhan, dan tindakannya yang berani untuk menghadapi musuh. Perkataan "di hadapan TUHAN, Allahnya" menekankan bahwa seluruh tindakannya didasari oleh kesadaran akan kehadiran Tuhan dan pertanggungjawaban kepada-Nya. Ini adalah motivasi yang paling murni, yaitu menyenangkan hati Tuhan di atas segalanya.
Kisah Hizkia, sebagaimana dirangkum dalam ayat ini, menjadi teladan yang luar biasa bagi para pemimpin dan setiap individu yang mencari kebenaran. Ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang sejati tidak diukur dari kekayaan, kekuasaan, atau popularitas semata, tetapi dari kedalaman hubungan pribadi dengan Tuhan dan kesediaan untuk hidup sesuai dengan firman-Nya. Dalam dunia yang sering kali penuh dengan ketidakpastian dan godaan, fokus pada apa yang "baik, benar, dan setia" di hadapan Tuhan memberikan fondasi yang kokoh untuk menghadapi setiap tantangan.
Pemulihan rohani yang terjadi di Yehuda di bawah kepemimpinan Hizkia adalah hasil langsung dari ketaatan dan kesetiaannya. Ketika pemimpin bertekad untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ilahi, dampaknya akan terasa luas, membawa pembaruan dan keberkatan bagi seluruh bangsa. Ayat ini merupakan pengingat yang berharga bahwa integritas rohani adalah kunci untuk kemakmuran dan ketahanan spiritual, baik bagi individu maupun komunitas.