Ayat 2 Tawarikh 31:3 ini merupakan bagian penting dari narasi pemulihan rohani dan ibadah yang dipimpin oleh Raja Hizkia di Kerajaan Yehuda. Setelah periode kelalaian dan kemerosotan spiritual di bawah raja-raja sebelumnya, Hizkia mengambil tindakan tegas untuk mengembalikan umat kepada ketaatan pada hukum Tuhan.
Penetapan bagian raja untuk korban-korban bakaran menunjukkan komitmen Hizkia untuk menyediakan sarana ibadah yang layak dan teratur. Ini bukan sekadar tentang materi, tetapi juga tentang kepemimpinan yang bertanggung jawab dan teladan dalam ketaatan. Raja, sebagai pemimpin umat, memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa ibadah kepada Tuhan dilakukan dengan benar dan konsisten.
Tiga jenis persembahan yang disebutkan – korban bakaran pagi dan petang, korban bakaran pada hari Sabat, bulan baru, dan hari raya yang ditetapkan – mencakup seluruh siklus ibadah mingguan, bulanan, dan tahunan. Ini menegaskan kembali pentingnya ibadah yang terus-menerus dan terstruktur sebagaimana diatur dalam Taurat Musa. Dengan mengembalikan ibadah sesuai dengan apa yang tertulis dalam hukum Tuhan, Hizkia membawa umat kembali ke dasar yang benar dari perjanjian mereka dengan Allah.
Tindakan Hizkia ini bukan hanya formalitas. Ayat-ayat sebelumnya dalam pasal yang sama (2 Tawarikh 30) menceritakan tentang Hizkia yang mengundang seluruh Israel untuk merayakan Paskah, sebuah perayaan penting yang telah lama diabaikan. Sambutan yang antusias dari banyak orang menunjukkan kerinduan yang besar di hati umat untuk kembali kepada Tuhan. Kemudian, setelah Paskah, umat dengan sukarela menghancurkan berhala-berhala dan kembali ke Yerusalem untuk menyembah Tuhan.
Ayat 31:3 kemudian menjadi kelanjutan logis dari pemulihan ini. Setelah pembersihan dan semangat ibadah dibangkitkan, diperlukan pengaturan yang konkret agar ibadah dapat terus berjalan. Penetapan "bagian raja" berarti raja menyediakan sumber daya dari kekayaannya pribadi atau dari kas kerajaan untuk menutupi biaya persembahan. Ini menunjukkan bahwa pemimpin harus rela berkorban dan memimpin di garis depan dalam urusan rohani.
Penting untuk dicatat bahwa "seperti yang tertulis dalam hukum TUHAN" menjadi prinsip utama. Hizkia tidak menciptakan aturan baru atau mengikuti tradisi yang menyimpang. Ia kembali kepada Firman Tuhan yang asli. Hal ini menjadi pengingat bagi kita bahwa ibadah yang sejati selalu berakar pada Firman Tuhan, bukan pada kebiasaan atau kesenangan semata. Ketaatan pada hukum Tuhan adalah kunci untuk pemulihan dan kelimpahan berkat.
Dalam konteks modern, ayat ini mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kita menjaga kehidupan ibadah kita. Apakah ibadah kita teratur, sesuai dengan ajaran Firman Tuhan, dan didukung oleh komitmen pribadi? Apakah kita sebagai pemimpin, baik dalam keluarga, gereja, maupun masyarakat, memberikan teladan yang baik dalam hal ketaatan dan dukungan terhadap ibadah yang benar? Pemulihan yang terjadi di masa Hizkia adalah bukti bahwa ketika umat dan pemimpin bersama-sama kembali kepada Tuhan dan Firman-Nya, kehidupan rohani yang baru dan penuh berkat akan terwujud.