"Tetapi Hizkia tidak membalas kebaikan yang diperbuat kepadanya, karena ia menjadi sombong; bangkitlah murka atasnya, atas Yehuda dan Yerusalem."
Ayat 2 Tawarikh 32:25 menyajikan sebuah titik krusial dalam narasi kepemimpinan Raja Hizkia. Setelah sebelumnya digambarkan sebagai raja yang saleh, taat kepada Tuhan, dan berhasil membawa Yehuda melalui masa-masa sulit, termasuk kemenangan gemilang atas tentara Asiria yang dipimpin Sanherib, ayat ini menyingkap sisi lain dari Hizkia yang luput dari perhatian. Kebaikan yang luar biasa dari Tuhan, yang telah memberinya keberhasilan dan kesembuhan dari penyakit yang mengancam jiwa, justru berujung pada sesuatu yang negatif: kesombongan.
Kesombongan adalah jurang yang dalam bagi jiwa manusia, terutama bagi mereka yang diberi mandat kepemimpinan dan dipercaya oleh Tuhan. Dalam kasus Hizkia, keberhasilan yang diraihnya, entah itu kemenangan militer maupun pemulihan kesehatannya, tampaknya telah memutarbalikkan perspektifnya. Alih-alih semakin rendah hati dan bersyukur atas anugerah Tuhan, ia justru menjadi merasa hebat atas kemampuannya sendiri. Kebaikan Tuhan yang seharusnya menjadi pengingat akan ketergantungan total pada-Nya, justru menjadi pemicu keangkuhan.
Akibat dari kesombongan ini tidak hanya dirasakan oleh Hizkia sendiri, tetapi juga meluas kepada seluruh Yehuda dan Yerusalem. Ayat tersebut secara tegas menyatakan, "bangkitlah murka atasnya, atas Yehuda dan Yerusalem." Ini menunjukkan bahwa kesalahan seorang pemimpin dapat berdampak serius bagi seluruh umat yang dipimpinnya. Murka Tuhan merupakan konsekuensi logis dari ketidaktaatan dan sikap hati yang tidak berkenan, terutama ketika kesombongan menggantikan rasa syukur dan kerendahan hati yang seharusnya menjadi ciri khas hamba Tuhan.
Kisah Hizkia dalam ayat ini menjadi peringatan keras bagi setiap orang, khususnya para pemimpin rohani maupun duniawi. Kemenangan dan keberhasilan sering kali datang dengan godaan kesombongan. Sangat mudah untuk terlena dalam pujian, merasa diri berkuasa, dan melupakan Sumber segala kekuatan dan keberhasilan. Penting untuk terus-menerus menguji hati, meminta pertolongan Tuhan agar dijauhkan dari sifat sombong, dan senantiasa menjaga sikap hati yang rendah hati dan bersyukur, dalam keadaan baik maupun buruk. Kesadaran akan anugerah Tuhan adalah pondasi yang kokoh untuk menolak kesombongan dan menjaga hubungan yang baik dengan-Nya.
Perubahan hati Hizkia ini mengajarkan kita bahwa kesalehan dan ketaatan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah perjalanan yang memerlukan kewaspadaan terus-menerus. Kesombongan, sekecil apapun, dapat merusak hubungan dengan Tuhan dan mendatangkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penting untuk terus merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui segala kebaikan-Nya, dan memohon hikmat agar dapat mengelola keberhasilan dengan bijak, tanpa tergelincir ke dalam jurang kesombongan yang membinasakan.