Ayat 2 Tawarikh 32:26 merupakan pengingat yang kuat akan pentingnya kerendahan hati, terutama ketika menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan dan ancaman. Kisah ini berlatar belakang masa pemerintahan Raja Hizkia di Yehuda, sebuah periode yang ditandai oleh invasi besar-besaran dari Asyur di bawah pimpinan Raja Sanherib.
Sanherib yang sombong dan penuh kemenangan datang dengan pasukan yang sangat besar, berniat untuk menaklukkan Yerusalem. Ancaman ini begitu nyata dan menakutkan sehingga rakyat Yehuda dan Hizkia sendiri merasakan ketakutan yang mendalam. Namun, alih-alih membalas kesombongan Sanherib dengan kesombongan atau keputusasaan, Hizkia memilih jalan yang berbeda. Ia merendahkan diri.
Kata "merendahkan diri" dalam ayat ini memiliki makna yang sangat dalam. Ini bukan sekadar sikap pasrah, melainkan tindakan sadar untuk mengakui keterbatasan diri, ketergantungan pada Tuhan, dan kesadaran akan kelemahan di hadapan kekuatan yang lebih besar. Hizkia menyadari bahwa kemenangan melawan Sanherib bukanlah hasil dari kekuatan militernya semata, melainkan bergantung sepenuhnya pada campur tangan Ilahi.
Kecongkakan hati, seperti yang ditunjukkan oleh Sanherib, adalah kekuatan yang merusak. Ia melihat dirinya sebagai penakluk yang tak tertandingi, mengabaikan kekuasaan Tuhan atas segala bangsa. Kesombongan semacam ini seringkali membawa kehancuran. Namun, Hizkia dan penduduk Yerusalem, meskipun awalnya diliputi ketakutan, memilih untuk berbalik kepada Tuhan dengan kerendahan hati. Mereka berdoa, meratap, dan mencari pertolongan dari Sumber kekuatan sejati.
Respons Tuhan terhadap kerendahan hati Hizkia luar biasa. Tuhan mengirimkan malaikat-Nya yang membinasakan 185.000 tentara Asyur dalam satu malam. Invasi Sanherib pun gagal total, dan ia terpaksa kembali ke Niniwe dalam kehinaan. Ayat ini menekankan bahwa murka Tuhan tidak menimpa mereka bukan karena kekuatan mereka, melainkan karena sikap hati mereka yang benar.
Pelajaran dari 2 Tawarikh 32:26 relevan hingga kini. Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak menghadapi ancaman militer seperti Hizkia, tetapi kita seringkali dihadapkan pada tantangan besar, kesulitan pribadi, dan tekanan sosial yang dapat menimbulkan kesombongan, ketakutan, atau keputusasaan. Ketika kita merasa diri kita terlalu kuat, terlalu pintar, atau terlalu mampu, kita rentan terhadap kejatuhan. Sebaliknya, mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan, merendahkan diri dalam doa dan ketergantungan, adalah kunci untuk menerima pertolongan dan pemeliharaan-Nya.
Kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan sejati. Itu adalah pengakuan akan kebenaran: bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan bergantung pada-Nya. Seperti Hizkia, marilah kita memilih untuk merendahkan hati kita di hadapan Tuhan, terutama di saat-saat genting. Dengan demikian, kita dapat mengalami perlindungan dan kedamaian yang hanya dapat diberikan oleh-Nya, dan terhindar dari murka yang disebabkan oleh kesombongan.