2 Tawarikh 33:22 - Kisah Manasye yang Penuh Pelajaran

"Ia berbuat apa yang jahat di mata TUHAN, seperti yang telah dilakukan bapa-bapanya, sebab ia tidak membuang kebenciannya itu." (2 Tawarikh 33:22)
Renungan Kehidupan
Refleksi mendalam terhadap pilihan hidup.

Memahami Konteks 2 Tawarikh 33:22

Ayat ini berasal dari kitab 2 Tawarikh, yang mencatat sejarah raja-raja Israel dan Yehuda. Secara spesifik, ayat ini merujuk pada masa pemerintahan Raja Manasye dari Yehuda. Manasye dikenal sebagai salah satu raja yang paling buruk dalam sejarah Yehuda. Masa pemerintahannya dicatat sebagai periode penyembahan berhala yang merajalela, tindakan kekejaman, dan penolakan terhadap ajaran TUHAN.

Jatuh ke dalam Kejahatan

Sesuai dengan Firman TUHAN, Manasye justru mengikuti jejak langkah raja-raja pendahulunya yang melakukan kejahatan. Ia membangun mezbah-mezbah bagi dewa-dewa asing, mendirikan patung dewa-dewa di Bait Suci Yerusalem, bahkan mempersembahkan anak-anaknya dalam api. Tindakan-tindakan ini menunjukkan betapa jauhnya ia menyimpang dari perjanjian dengan Allah dan bagaimana ia secara aktif mendorong umatnya untuk melakukan hal yang sama. Frasa "ia berbuat apa yang jahat di mata TUHAN" bukan sekadar pernyataan pasif, melainkan gambaran dari serangkaian tindakan aktif yang menentang kehendak ilahi.

Akar Kejahatan: "Kebencian"

Poin krusial yang disorot dalam ayat 22 adalah alasan di balik kejahatannya yang berkelanjutan: "sebab ia tidak membuang kebenciannya itu." Kata "kebencian" di sini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara. Bisa jadi merujuk pada kebenciannya terhadap ajaran TUHAN, kebencian terhadap nabi-nabi yang membawa peringatan dari Allah, atau bahkan kebencian terhadap prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang diajarkan oleh Taurat. Manasye tidak hanya melakukan kesalahan, tetapi ia memelihara dan memperdalam sikap hati yang menolak kebaikan dan kebenaran. Kebencian ini menjadi akar yang menumbuhkan segala bentuk kejahatan yang ia lakukan.

Pelajaran dari Kisah Manasye

Meskipun kisah Manasye dimulai dengan gambaran kegelapan yang pekat, penting untuk dicatat bahwa kitab 2 Tawarikh juga mencatat pertobatan Manasye di kemudian hari. Setelah mengalami penderitaan dan pembuangan, Manasye akhirnya merendahkan diri dan berdoa kepada TUHAN. Kisahnya menjadi pengingat kuat bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh jatuh sehingga tidak dapat kembali kepada Allah. Namun, ayat 22 ini berfungsi sebagai peringatan penting mengenai bahaya memelihara sikap hati yang menolak kebenaran. Ketidakmauan untuk membuang "kebencian" atau penolakan terhadap jalan TUHAN adalah pintu gerbang menuju kehancuran spiritual dan moral.

Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak membangun mezbah berhala secara fisik, namun kita bisa saja "membenci" ajaran moral, kebenaran rohani, atau panggilan nurani kita. Sikap apatis, penolakan terhadap nasihat yang membangun, atau kesombongan hati yang menolak mengakui kesalahan adalah bentuk-bentuk "kebencian" yang dapat menjauhkan kita dari terang ilahi. Kisah Manasye mengingatkan kita untuk terus memeriksa hati kita, membuang segala bentuk penolakan terhadap kebaikan, dan senantiasa terbuka pada tuntunan TUHAN.