Amsal 21:27 menyampaikan sebuah kebenaran rohani yang fundamental tentang natur ibadah dan hati yang tulus. Ayat ini secara tegas menyatakan, "Kurban orang fasik menjijikkan, apalagi kalau dipersembahkan dengan maksud jahat." Pernyataan ini menyoroti ketidaksenangan Tuhan terhadap persembahan yang lahir dari hati yang penuh kejahatan dan niat buruk.
Dalam konteks sejarah Israel, kurban seringkali merupakan elemen sentral dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Kurban dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa, menyatakan syukur, atau membangun persekutuan. Namun, Tuhan tidak hanya melihat dari sisi lahiriah dari persembahan itu sendiri. Ia melihat ke dalam hati para penyembah-Nya. Jika hati itu dipenuhi dengan kedengkian, kebohongan, keserakahan, atau niat jahat lainnya, maka kurban yang dipersembahkan menjadi sia-sia, bahkan menjijikkan di hadapan-Nya.
Frasa "menjijikkan" menunjukkan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan dan ditolak. Ini bukan sekadar ketidakpedulian, melainkan penolakan yang kuat. Bayangkan betapa mengerikannya jika sebuah tindakan yang seharusnya membawa kedekatan dengan Tuhan justru dianggap menjijikkan. Ini memberikan peringatan keras bahwa ibadah yang sejati bukan hanya tentang ritual atau persembahan materi, tetapi lebih utama tentang kondisi hati dan pikiran.
Penekanan pada "apalagi kalau dipersembahkan dengan maksud jahat" semakin memperjelas poin ini. Niat jahat bisa berarti berbagai hal: mempersembahkan kurban dengan harapan mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak sah, menggunakan persembahan sebagai cara untuk menutupi dosa-dosa besar, atau bahkan mempersembahkan kurban sebagai bentuk kemunafikan untuk terlihat saleh di mata orang lain sementara di dalam hati tetap bejat. Tuhan melihat hingga ke akar motivasi seseorang.
Pelajaran dari amsal ini sangat relevan hingga kini. Dalam berbagai bentuk ibadah modern, baik itu doa, persembahan materi, pelayanan, atau bahkan sekadar kata-kata pujian, Tuhan tetap menguji ketulusan hati. Ibadah yang hanya sekadar formalitas, tanpa adanya perubahan karakter, pertobatan dari kejahatan, dan keinginan untuk hidup benar, akan menjadi beban dan tidak berkenan di hadapan-Nya. Tuhan merindukan hati yang tulus, yang dibersihkan oleh kebenaran dan dikuasai oleh kasih.
Sebaliknya, ketaatan yang lahir dari hati yang mengasihi dan tunduk kepada Tuhan, meskipun mungkin terlihat sederhana atau tanpa persembahan yang megah, jauh lebih berharga. Tuhan menekankan melalui nabi-nabi-Nya bahwa ketaatan lebih baik daripada persembahan (1 Samuel 15:22). Kurban yang tulus adalah kurban hati yang taat, yang bersedia meninggalkan kejahatan dan berupaya hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh karena itu, Amsal 21:27 menjadi pengingat yang berharga bagi setiap orang yang mengaku beriman: perhatikanlah hati Anda. Pastikan motivasi di balik setiap tindakan rohani Anda murni dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Ibadah yang sejati datang dari hati yang bersih, bukan dari ritual kosong yang dipersembahkan dengan niat yang busuk.