Firman Tuhan dalam Amsal 30:2, yang diucapkan oleh Agur bin Yake, adalah sebuah pernyataan yang mencengangkan. Di tengah kumpulan hikmat dan pengajaran yang terkandung dalam Kitab Amsal, Agur memulai dengan pengakuan yang begitu merendah, bahkan mungkin terasa ekstrem. Ia menyatakan, "Sesungguhnya, aku lebih bodoh dari pada orang lain, dan tidak punya pengertian manusia." Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan kerendahan hati biasa, melainkan sebuah fondasi penting dalam perjalanan mencari hikmat sejati.
Mengapa Agur memulai dengan cara seperti ini? Pengakuan akan kebodohan diri sendiri merupakan langkah awal yang krusial dalam memahami keterbatasan diri. Seringkali, kesombongan intelektual atau rasa percaya diri yang berlebihan justru menjadi tembok penghalang terbesar dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Ketika seseorang merasa sudah tahu segalanya atau merasa lebih pintar dari orang lain, ia akan menutup diri terhadap masukan, nasehat, dan ajaran baru. Agur, sebaliknya, menyadari bahwa ia adalah "lebih bodoh dari pada orang lain," sebuah sikap yang membuka ruang bagi Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam dirinya.
Dalam konteks dunia yang terus berkembang dan penuh dengan informasi, penting bagi kita untuk mengadopsi pola pikir yang sama. Kebijaksanaan bukanlah tentang seberapa banyak yang telah kita pelajari, melainkan seberapa besar kesadaran kita akan luasnya lautan pengetahuan yang belum terjamah. Mengakui ketidaktahuan bukan berarti merendahkan martabat diri, melainkan sebuah langkah proaktif menuju pertumbuhan. Ini adalah undangan untuk terus belajar, untuk terus bertanya, dan untuk terus mencari kebenaran yang lebih dalam.
Agur juga mengakui bahwa ia "tidak punya pengertian manusia." Ini bisa diartikan dalam beberapa cara. Bisa jadi ia merasa pemahamannya terbatas oleh cara berpikir manusia pada umumnya, yang seringkali dipengaruhi oleh emosi, prasangka, dan perspektif duniawi. Ia mungkin merindukan pemahaman yang lebih ilahi, yang melampaui keterbatasan manusiawi. Dalam mencari hikmat, kita seringkali perlu mengesampingkan cara berpikir kita yang biasa agar dapat menerima kebenaran yang lebih murni dan lebih tinggi.
Pesan dari Amsal 30:2 ini sangat relevan untuk kehidupan modern. Di era digital ini, akses informasi begitu melimpah, namun seringkali kita terjebak dalam gelembung informasi atau merasa sudah cukup tahu. Kerendahan hati intelektual, seperti yang dicontohkan Agur, adalah kunci untuk terus berkembang. Dengan mengakui keterbatasan diri, kita membuka diri untuk menerima ajaran, belajar dari orang lain, dan yang terpenting, mencari bimbingan dari sumber hikmat yang tertinggi, yaitu Tuhan. Kebijaksanaan sejati dimulai dari kesadaran akan kedalaman ketidaktahuan kita.