Ayat pembuka dari pasal 20 Kitab Ayub ini menandai dimulainya respons kedua dari teman-teman Ayub, kali ini diwakili oleh Zofar. Namun, konteks ini bukan sekadar tentang percakapan seorang diri, melainkan tentang perdebatan mendalam mengenai keadilan ilahi, penderitaan, dan natur kesombongan yang dikaitkan dengan orang fasik. Zofar, seperti dua temannya yang lain, Elihas dan Bildad, cenderung berargumen bahwa penderitaan Ayub adalah bukti langsung dari dosa-dosanya. Mereka melihat ketidakberuntungan Ayub sebagai cerminan ketidakadilan yang ia lakukan.
Zofar memulai argumennya dengan nada yang tegas dan penuh keyakinan. Ia merasa memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana Tuhan bekerja, yaitu bahwa orang benar akan diberkati dan orang fasik akan dihukum. Dalam pandangan Zofar, penderitaan Ayub yang begitu berat tidak mungkin terjadi tanpa adanya kesalahan fundamental yang telah ia perbuat. Argumen ini mencerminkan pandangan umum pada masa itu, yang dikenal sebagai doktrin pembalasan yang setimpal (retribusi), di mana kemakmuran dilihat sebagai tanda perkenanan ilahi dan kesengsaraan sebagai tanda murka ilahi akibat dosa.
Namun, yang menarik dari respon Zofar di pasal 20 ini adalah fokusnya pada kesombongan dan konsekuensi yang tak terhindarkan dari kejahatan. Ia menggambarkan secara rinci bagaimana kesuksesan orang fasik bersifat sementara dan dibangun di atas fondasi yang rapuh. Zofar mengartikan kesuksesan orang fasik sebagai tanda bahwa mereka telah begitu terbuai oleh kesombongan mereka sendiri, sehingga mereka lupa akan Tuhan dan keadilan-Nya. Mereka bersorak dalam kemenangan sesaat, tanpa menyadari bahwa kejatuhan mereka sudah dekat.
Lebih lanjut, Zofar menggambarkan kehancuran orang fasik sebagai sesuatu yang begitu total dan mencolok. Mereka tidak hanya kehilangan harta benda dan kedudukan, tetapi juga kehormatan dan nama baik mereka. Keturunan mereka pun tidak akan menemukan kedamaian. Semua ini, dalam pandangan Zofar, adalah keadilan ilahi yang bekerja, membuktikan bahwa Tuhan tidak membiarkan kejahatan merajalela tanpa ada sanksi. Kehidupan mereka diibaratkan seperti mimpi yang cepat berlalu di pagi hari, atau rumput yang layu sebelum tumbuh sempurna.
Inti dari argumen Zofar adalah bahwa kesombongan dan ketidakjujuran pada akhirnya akan membawa kehancuran. Orang yang tenggelam dalam kesombongan sering kali berpikir bahwa mereka kebal dari konsekuensi, namun kitab Ayub melalui suara Zofar mengingatkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat lari dari pengawasan Tuhan. Keadilan-Nya, meskipun terkadang terasa lambat, pasti akan tiba untuk memulihkan keseimbangan.
Meskipun Zofar berupaya keras untuk membela pandangannya tentang keadilan ilahi, penting untuk diingat bahwa Kitab Ayub secara keseluruhan mempertanyakan kesederhanaan doktrin pembalasan yang setimpal. Perjalanan Ayub membawanya pada pemahaman yang lebih mendalam tentang misteri penderitaan dan kedaulatan Tuhan yang melampaui logika manusia. Namun, dalam pasal 20 ini, kita melihat bagaimana sudut pandang teman-teman Ayub sangat dipengaruhi oleh cara berpikir tradisional mereka tentang sebab-akibat dosa dan hukuman.
Kekuatan sejati ditemukan dalam ketabahan menghadapi badai kehidupan.
Reaksi Zofar ini juga memberikan kesempatan bagi kita untuk merenungkan sifat kesombongan dalam kehidupan kita sendiri. Apakah kita pernah merasa bahwa keberhasilan kita adalah hasil dari kehebatan diri sendiri semata, tanpa mengakui peran kemurahan atau bahkan kebetulan? Apakah kita pernah meremehkan atau menghakimi orang lain berdasarkan kemalangan mereka, tanpa memahami konteks penuh dari kehidupan mereka? Zofar mengajarkan kita bahwa kesombongan adalah jalan yang berbahaya, yang seringkali mengarah pada kejatuhan yang sama menghancurkannya.
Pada akhirnya, Ayub 20:1 dan seluruh respons Zofar menjadi bagian dari narasi yang kompleks. Ini adalah pengingat akan upaya manusia untuk memahami keadilan ilahi, tetapi juga sebuah peringatan tentang bahaya penghakiman yang tergesa-gesa dan kesombongan yang membutakan.