"Jikalau engkau benar, apakah artinya itu bagi Dia? Atau apakah yang diterima-Nya dari tanganmu?"
Ayat dari Kitab Ayub ini, khususnya pasal 35 ayat 7, mengajak kita untuk merenungkan sifat hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Seringkali, dalam kesalehan dan usaha kita untuk hidup benar, muncul pertanyaan mengenai dampak dan makna dari perbuatan baik kita di hadapan Tuhan. Apakah kebenaran kita, usaha kita untuk mengikuti perintah-Nya, atau amal perbuatan yang kita lakukan, benar-benar membawa keuntungan bagi Tuhan?
Pertanyaan retoris dalam ayat ini bukan untuk meragukan nilai kebaikan, melainkan untuk menggeser fokus pemahaman kita. Tuhan, dalam kemahatahuan dan kemahakuasaan-Nya, tidak memerlukan atau mendapatkan keuntungan dari ketaatan manusia. Kebenaran dan perbuatan baik kita bukanlah sebuah "penawaran" yang membuat Tuhan berhutang budi, melainkan sebuah cerminan dari karakter kita sendiri dan respons kita terhadap kasih karunia yang telah diberikan. Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari kita, namun Ia menginginkan hati yang tulus dan hidup yang mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan kasih.
Memahami ayat ini membantu kita untuk melepaskan diri dari motivasi ibadah yang bersifat transaksional. Kita tidak berbuat baik agar Tuhan membalasnya dengan berkat materi atau menghindari malapetaka. Sebaliknya, hidup benar adalah sebuah panggilan untuk mengekspresikan identitas kita sebagai ciptaan yang diciptakan dalam gambar-Nya. Ketika kita memilih untuk hidup dalam kebenaran, kita sedang menyelaraskan diri dengan kehendak-Nya, memuliakan nama-Nya, dan pada akhirnya, memperkaya kehidupan rohani kita sendiri.
Juga, ayat ini mengingatkan kita tentang kemandirian mutlak Tuhan. Segala sesuatu berasal dari Dia dan kembali kepada-Nya. Kehidupan yang benar yang kita jalani, meskipun dampaknya tidak "meningkatkan" keberadaan Tuhan, sangatlah berharga di mata-Nya. Itu menunjukkan kedekatan, rasa hormat, dan cinta kita kepada-Nya. Ini adalah tentang transformasi diri, menjadi pribadi yang lebih baik, yang mencerminkan kasih dan keadilan Tuhan di dunia. Jadi, meskipun "apakah artinya itu bagi Dia?", jawaban yang lebih dalam adalah bahwa hidup dalam kebenaran adalah bagian dari perjalanan spiritual kita yang paling bermakna, sebuah persembahan hati yang tulus kepada Sang Sumber segala kebaikan.
Melalui pertanyaan ini, kita diajak untuk menemukan kembali motivasi yang murni dalam berbuat baik, bukan untuk mendapatkan imbalan dari Tuhan, melainkan karena dorongan internal yang lahir dari pemahaman akan kasih dan kebenaran-Nya. Ini adalah undangan untuk hidup tanpa pamrih, sebuah bentuk pengabdian yang sejati, di mana kebaikan menjadi tujuan itu sendiri, dan kebahagiaan tertinggi ditemukan dalam keselarasan dengan Sang Pencipta.