Ayat pembuka dalam pasal keenam Kitab Hakim-hakim ini segera menggambarkan kondisi bangsa Israel yang sangat memprihatinkan. Setelah mengalami pembebasan dari Mesir dan mendiami Tanah Perjanjian, bangsa pilihan ini justru terjerumus ke dalam penyembahan berhala. Tindakan mereka membangun mezbah-mezbah bagi Baal dan dewa-dewa asing lainnya bukan sekadar penyimpangan kecil, melainkan sebuah pemberontakan terang-terangan terhadap satu-satunya Allah yang telah menyelamatkan dan mengikat perjanjian dengan mereka. Perbuatan ini digambarkan secara tegas sebagai "seperti yang jahat di mata TUHAN", sebuah ungkapan yang selalu menandakan pelanggaran serius terhadap hukum dan kehendak ilahi.
Konsekuensi dari ketidaktaatan ini tidaklah ringan. Kitab Hakim-hakim secara konsisten menunjukkan pola siklus: Israel berdosa, Allah mengizinkan penindasan, Israel berseru minta tolong, Allah membangkitkan seorang hakim untuk menyelamatkan mereka, dan masa damai pun kembali tiba, sebelum siklus itu berulang. Dalam kasus ini, penghukuman yang dijatuhkan adalah penyerahan mereka "ke tangan orang Midian selama tujuh tahun." Orang Midian, bersama dengan sekutu mereka seperti orang Amalek dan bani Timur, menjadi alat penghakiman Allah. Mereka datang seperti belalang, merusak tanaman dan ternak bangsa Israel, menyebabkan kelaparan dan penderitaan yang luar biasa. Tujuh tahun adalah rentang waktu yang cukup lama untuk merasakan akibat dari dosa mereka secara mendalam.
Kondisi penindasan yang berlangsung selama tujuh tahun ini menimbulkan keputusasaan yang mendalam di kalangan bangsa Israel. Mereka terpaksa bersembunyi di gua-gua dan benteng-benteng di pegunungan untuk menghindari rampasan orang Midian. Panen mereka dihancurkan, kekayaan mereka dirampas, dan kehidupan mereka menjadi sangat sulit. Dalam situasi seperti inilah, kerap kali hati manusia menjadi lebih terbuka untuk kembali mencari Tuhan. Penderitaan yang hebat seringkali menjadi katalisator untuk introspeksi dan pengakuan dosa.
Hakim-hakim 6:2 tidak hanya mencatat sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga memberikan pelajaran teologis yang mendalam tentang kedaulatan Allah, konsekuensi dosa, dan keadilan ilahi. Allah yang Mahakudus tidak dapat mentolerir dosa dan penyembahan berhala. Ia mengizinkan konsekuensi terjadi sebagai bentuk disiplin dan pemurnian. Namun, kasih dan kesetiaan-Nya tidak pernah hilang. Di tengah-tengah kesulitan yang diakibatkan oleh dosa mereka sendiri, Allah akan mempersiapkan jalan untuk pembebasan. Ayat ini adalah pengantar yang kuat untuk kisah Gideon, seorang pahlawan yang dipanggil Tuhan dalam kondisi bangsa Israel yang paling terpuruk. Kisah Gideon menjadi bukti bahwa bahkan di saat tergelap pun, Allah memiliki rencana untuk membangkitkan umat-Nya dan memulihkan mereka melalui kuasa-Nya yang dahsyat.
Pelajaran dari Hakim-hakim 6:2 ini relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita akan bahaya menyimpang dari jalan Tuhan dan pentingnya kesetiaan kepada-Nya. Ketika kita menghadapi kesulitan, baik yang disebabkan oleh kesalahan kita sendiri maupun oleh keadaan, seringkali itu adalah panggilan untuk introspeksi dan kembali kepada Allah. Keadilan-Nya pasti, namun anugerah-Nya juga tak terbatas bagi mereka yang bertobat.