"Tetapi pokok anggur menjawab kepadanya: "Masakan aku harus meninggalkan anggurku, yang membawa kegembiraan bagi Allah dan manusia, dan pergi menjadi pohon penguasa di atas pohon-pohon lain?"
Kitab Hakim-hakim merupakan salah satu bagian dari Perjanjian Lama yang menyimpan banyak kisah tentang perjuangan bangsa Israel, kepemimpinan yang beragam, serta campur tangan ilahi dalam sejarah mereka. Salah satu bagian yang menarik perhatian adalah perumpamaan yang disampaikan oleh pohon anggur dalam pasal 9, ayat 13. Perumpamaan ini diceritakan dalam konteks kisah Abimelekh, putra Gideon, yang berusaha merebut kekuasaan di Syekhem. Kisah ini mengandung pelajaran berharga tentang sifat kepemimpinan, ambisi, dan konsekuensi dari pilihan yang diambil.
Dalam perumpamaan tersebut, berbagai pohon diundang untuk memilih satu di antara mereka untuk menjadi raja. Pohon zaitun, pohon ara, dan pohon anggur semuanya menolak tawaran tersebut. Pohon anggur, khususnya, memberikan jawaban yang penuh makna. Ia menyatakan bahwa anggurnya membawa kegembiraan bagi Allah dan manusia, yang menyiratkan bahwa buahnya memiliki fungsi dan nilai penting dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Ia tidak ingin meninggalkan fungsinya yang mulia dan vital tersebut demi mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi sebagai penguasa.
Penolakan pohon anggur untuk menjadi raja menyoroti pentingnya kerendahan hati dan kesadaran akan nilai diri yang sejati. Ia tidak melihat kepemimpinan sebagai tujuan utama, melainkan melihat nilai dalam perannya yang berkontribusi pada kebahagiaan dan perayaan. Ini adalah pengingat bagi kita bahwa setiap individu memiliki peran dan kontribusi unik yang berharga, tidak peduli seberapa "rendah" kedudukan itu terlihat di mata dunia. Ambisi yang tidak sehat dan keinginan untuk berkuasa semata dapat mengalihkan perhatian dari tujuan yang lebih mulia dan memberikan manfaat yang lebih luas.
Konteks sejarah dari Hakim Hakim 9:13 semakin memperkuat pesannya. Abimelekh, yang ambisinya mendorongnya untuk membunuh saudara-saudaranya dan merebut takhta, akhirnya mengalami kehancuran. Perumpamaan pohon anggur berfungsi sebagai kritik terselubung terhadap tindakannya. Kisah ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan dan dominasi, melainkan tentang pelayanan, kontribusi, dan menjaga nilai-nilai yang membawa kebaikan.
Dalam dunia modern, kita terus dihadapkan pada berbagai bentuk "undangan" untuk menjadi "penguasa" dalam skala yang berbeda-beda. Entah itu dalam karier, politik, atau bahkan dalam lingkup sosial. Hikmah dari hakim hakim 9 13 mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru mengejar kedudukan tinggi tanpa mempertimbangkan dampak dan nilai dari apa yang kita tinggalkan atau apa yang kita tawarkan. Kebijaksanaan terletak pada pemahaman bahwa setiap peran memiliki martabatnya sendiri, dan kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam melayani dengan tulus dan berkontribusi pada kemakmuran bersama, seperti anggur yang memberikan sukacita.
Pelajaran ini tetap relevan hingga kini. Ia mengajak kita untuk merenungkan prioritas kita, motivasi di balik ambisi kita, dan bagaimana kita berkontribusi pada dunia di sekitar kita. Memilih untuk tetap pada fungsi yang membawa "kegembiraan bagi Allah dan manusia" dapat menjadi jalan menuju kepuasan yang lebih dalam dan kehidupan yang lebih bermakna, dibandingkan dengan pencarian kekuasaan semata yang seringkali berujung pada kehancuran.