Ayat dari Kitab Hakim pasal 9 ayat 56 ini membawa sebuah pesan kuat tentang keadilan ilahi yang tidak pernah luput. Kisah Abimelekh, seorang tokoh yang penuh ambisi namun licik, menjadi contoh nyata bagaimana perbuatan zalim akan menemui konsekuensinya. Abimelekh, putra Gideon dari seorang gundik, berusaha merebut kekuasaan dengan cara-cara yang keji, termasuk membunuh saudara-saudaranya sendiri demi menyingkirkan saingan.
Tindakan brutal ini tentu saja mengundang murka Tuhan. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan akan membalas kejahatan Abimelekh yang telah ia perbuat terhadap keluarganya sendiri, terutama pembantaian atas 70 orang saudaranya. Ini bukan sekadar kekerasan politik biasa, melainkan pengkhianatan terhadap darah daging yang seharusnya dilindungi.
Namun, narasi keadilan tidak berhenti pada pelaku utama. Ayat tersebut juga mencakup orang-orang Sikhem, yang turut berperan dalam kebangkitan dan kelicikan Abimelekh. Mereka, yang mungkin awalnya terbuai oleh janji atau takut pada Abimelekh, pada akhirnya juga akan menanggung akibat dari persekongkolan mereka. Ini menunjukkan bahwa Tuhan melihat keseluruhan rantai perbuatan jahat, termasuk partisipasi dan dukungan terhadap tindakan yang salah.
Kisah ini menjadi pengingat universal bahwa keadilan sejati tidak dapat dibeli atau dihindari. Ada sebuah prinsip moral kosmik yang bekerja, di mana perbuatan buruk pasti akan menemui balasan, baik di dunia ini maupun di hadapan pengadilan ilahi. Dalam konteks Hakim 9:56, "balasan" ini bisa diinterpretasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari kehancuran pribadi, hilangnya kekuasaan, hingga malapetaka yang menimpa komunitas yang terlibat.
Pesan ini relevan bahkan di zaman modern. Dalam dunia yang terkadang terasa penuh ketidakadilan, ayat ini menawarkan penghiburan dan penguatan iman. Ia mengingatkan bahwa setiap tindakan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, berada di bawah pengawasan Tuhan. Keadilan-Nya mungkin tidak selalu datang seketika, tetapi kepastian-Nya tidak dapat digoyahkan. Perbuatan zalim, sekecil apapun jika dilihat dari perspektif manusia, akan diperhitungkan.
Bagi setiap individu, ayat ini adalah ajakan untuk merefleksikan tindakan diri. Apakah kita sedang berjalan di jalan kebenaran, atau justru tanpa sadar terseret dalam arus perbuatan yang merugikan orang lain? Menjadi bagian dari keadilan, bukan kezaliman, adalah pilihan yang senantiasa ditawarkan. Memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kejahatan, bahkan ketika tekanan dari lingkungan sangat kuat, adalah bentuk ketaatan dan keberanian moral.
Lebih jauh lagi, ayat ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk terus memperjuangkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan keyakinan bahwa keadilan ilahi itu pasti ada, kita didorong untuk bertindak dengan integritas, kejujuran, dan kasih. Kita dipanggil untuk menjadi agen kebaikan, yang menentang segala bentuk kezaliman dan kekejaman. Pemahaman mendalam tentang Hakim 9:56 bukan hanya tentang mengetahui balasan, tetapi tentang memahami prinsip fundamental kebenaran dan keadilan yang dijunjung oleh Sang Pencipta.