"Janganlah ia menyembelihnya di pintu kemah pertemuan, atau membawanya ke mezbah; tetapi ia harus membawanya kepada imam, dan menyembelihnya di hadapan TUHAN, di pintu kemah pertemuan, dan memercikkan darahnya pada mezbah."
Simbol visual persembahan dan tempatnya.
Ayat Imamat 17:4 memberikan instruksi yang sangat spesifik mengenai cara mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan. Perintah ini bukan sekadar aturan ritual semata, melainkan mencerminkan pemahaman mendalam tentang kekudusan Tuhan dan pentingnya ketaatan dalam setiap aspek ibadah. Tuhan telah menetapkan cara-cara yang berkenan bagi-Nya, dan menaati cara tersebut adalah bentuk penghormatan dan penyerahan diri.
Fokus utama dari ayat ini adalah lokasi penyembelihan dan persembahan korban. Tuhan melarang umat-Nya menyembelih hewan kurban di sembarang tempat, terutama di luar pintu Kemah Pertemuan, yang merupakan pusat ibadah mereka pada masa itu. Ini menunjukkan bahwa ibadah yang benar harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan oleh Tuhan dan di bawah otoritas-Nya. Ibadah yang sembarangan atau dilakukan atas keinginan pribadi bisa jadi tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Menyembelih di depan Tuhan, di pintu Kemah Pertemuan, dan memercikkan darahnya pada mezbah memiliki makna simbolis yang kuat. Pertama, ini menekankan bahwa kurban tersebut adalah milik Tuhan. Kedua, tindakan memercikkan darah pada mezbah adalah pengingat akan penebusan dosa. Darah korban menjadi simbol penutupan dosa, yang menunjuk pada kurban sempurna yang akan datang melalui Yesus Kristus.
Instruksi ini juga bertujuan untuk menjaga kesatuan dan keteraturan dalam ibadah bangsa Israel. Dengan semua persembahan dibawa ke satu tempat pusat ibadah, hal itu menghindari praktik-praktik penyembahan berhala yang seringkali dilakukan di tempat-tempat terpencil atau pribadi. Hal ini membantu umat Tuhan untuk tetap fokus pada ibadah yang murni kepada TUHAN.
Meskipun kita tidak lagi mempersembahkan korban hewan seperti pada zaman Perjanjian Lama, prinsip di balik Imamat 17:4 tetap relevan. Dalam ibadah Kristen masa kini, kita juga dipanggil untuk mempersembahkan diri kita sebagai "persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah" (Roma 12:1). Ini berarti ibadah kita harus dilakukan dengan hati yang tulus, penuh hormat, dan dalam kesatuan dengan tubuh Kristus.
Pelajaran penting yang dapat kita ambil adalah bahwa ibadah kita seharusnya tidak asal-asalan atau hanya menjadi kebiasaan tanpa makna. Kita perlu memeriksa hati kita, apakah kita datang kepada Tuhan dengan niat yang benar, menghormati kedudukan-Nya yang kudus, dan mengakui karya penebusan-Nya. Ibadah yang sejati datang dari hati yang taat dan yang rindu untuk menyenangkan Tuhan dalam segala hal.
Perintah untuk membawa korban ke imam dan memercikkan darah pada mezbah juga mengingatkan kita bahwa keselamatan kita sepenuhnya bergantung pada pengorbanan Kristus. Kita tidak dapat mencapai keselamatan melalui usaha atau tempat ibadah kita sendiri, melainkan melalui iman kepada Dia yang telah memberikan diri-Nya bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita terus belajar untuk mempersembahkan ibadah yang tulus dan berkenan kepada Tuhan, dalam terang kasih karunia-Nya.