"Dan dari korban syukur, yang dipersembahkan kepada TUHAN, harus dipersembahkan satu ekor dari lembu, untuk korban penghapus dosa, dan dua ekor dari domba, serta dua ekor dari kambing."
Ilustrasi persembahan syukur yang berlimpah.
Kitab Imamat, sebuah bagian penting dari Perjanjian Lama, memuat berbagai hukum dan peraturan yang mengatur kehidupan umat Israel kuno, terutama terkait ibadah dan kekudusan. Di tengah berbagai jenis persembahan yang diatur, Imamat 7:15 menyoroti pentingnya persembahan syukur. Ayat ini, yang merupakan bagian dari instruksi mengenai korban syukur (shelamim), memberikan rincian spesifik mengenai jumlah hewan yang harus dipersembahkan sebagai bagian dari perayaan tersebut.
Persembahan syukur, atau korban damai sejahtera, memiliki tujuan utama untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan pengakuan kepada TUHAN atas berkat-berkat yang telah diterima. Berbeda dengan korban bakaran yang sepenuhnya dibakar di mezbah, atau korban penghapus dosa yang bertujuan untuk menebus kesalahan, korban syukur memungkinkan sebagian hewan dipersembahkan kepada TUHAN, sebagian diberikan kepada imam, dan sebagian lagi dikonsumsi oleh orang yang mempersembahkan beserta keluarga dan teman-temannya. Hal ini menjadikan persembahan syukur sebagai momen sukacita komunal dan perayaan yang penuh keakraban.
Imamat 7:15 secara spesifik menyebutkan bahwa dari korban syukur seekor lembu, harus dipersembahkan satu ekor untuk korban penghapus dosa (meskipun konteksnya korban syukur, ini mengindikasikan adanya pemurnian atau pengakuan dosa yang menyertai rasa syukur) dan dua ekor dari domba, serta dua ekor dari kambing. Rincian ini menunjukkan bahwa persembahan syukur bukanlah sekadar ritual tanpa makna, melainkan melibatkan berbagai aspek peribadahan. Keterlibatan korban penghapus dosa sebagai bagian dari korban syukur menegaskan bahwa ungkapan syukur haruslah datang dari hati yang bersih dan telah ditebus.
Jumlah hewan yang disebutkan – seekor lembu dan dua pasang domba dan kambing – menggambarkan kelimpahan dan kemurahan hati. Ini bukan persembahan yang minimalis, melainkan ekspresi kesungguhan dalam menghargai kebaikan TUHAN. Semakin besar berkat yang dirasakan, semakin besar pula keinginan untuk membalasnya dengan persembahan yang pantas. Keberlimpahan ini juga mencerminkan sifat Allah yang murah hati dan senantiasa menyediakan bagi umat-Nya.
Bagi umat Kristen saat ini, prinsip di balik persembahan syukur dalam Imamat 7:15 tetap relevan. Meskipun sistem peribadahan korban hewan telah digenapi dalam diri Yesus Kristus (sebagai korban penebusan dosa yang sempurna), semangat persembahan syukur tetap harus dihidupi. Ayat ini mengajarkan kita untuk secara aktif mengenali dan mensyukuri berkat-berkat spiritual dan jasmani yang kita terima dari Allah.
Rasa syukur yang tulus bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan membutuhkan tindakan nyata. Ini bisa berupa ucapan syukur dalam doa, kesaksian tentang kebaikan Allah, serta tindakan melayani dan memberi kepada sesama sebagai bentuk balasan atas kasih karunia yang telah diterima. Persembahan syukur juga mengajarkan kita untuk tidak melupakan sumber segala berkat, yaitu TUHAN. Dalam perayaan syukur, kita diingatkan bahwa segala sesuatu berasal dari Dia dan kembali kepada-Nya.
Penting untuk diingat bahwa ibadah syukur yang sejati tidak hanya terbatas pada perayaan besar atau ketika kita menerima berkat yang luar biasa. Bahkan dalam menghadapi kesulitan, kita dapat menemukan alasan untuk bersyukur, seperti kekuatan yang diberikan Allah untuk bertahan, atau pelajaran yang diperoleh dari cobaan tersebut. Sebagaimana persembahan syukur dalam Perjanjian Lama adalah ekspresi sukacita dan persekutuan, demikian pula iman Kristen mendorong kita untuk hidup dalam sukacita yang terus-menerus, yang berakar pada pengenalan akan Allah dan karya penebusan-Nya.
Menggali makna dari Imamat 7:15 memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang bagaimana umat Allah di masa lalu mengekspresikan pengakuan dan terima kasih mereka. Kini, kita dipanggil untuk menerjemahkan prinsip ini ke dalam kehidupan kontemporer, dengan hati yang penuh sukacita dan rasa syukur yang melimpah, mengakui Allah sebagai sumber segala kebaikan.