Imamat 7:27 - Persembahan dan Ketetapan

"Apabila seseorang makan dari korban keselamatan, yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia yang mempersembahkan korban itu, atau kerabatnya yang terdekat, menyantapnya; tetapi yang tidak tahir tidak boleh makan dari korban keselamatan itu."

Ayat Imamat 7:27 membawa kita pada pemahaman mendalam mengenai aturan dan ketetapan ibadah dalam tradisi Israel kuno, khususnya terkait dengan persembahan korban keselamatan. Ayat ini tidak hanya sekadar aturan teknis, tetapi sarat dengan makna teologis dan praktis yang memengaruhi kehidupan spiritual umat pada masa itu. Memahami konteksnya adalah kunci untuk mengapresiasi pentingnya setiap detail dalam ibadah kepada Tuhan.

Persembahan korban keselamatan, atau dalam bahasa Ibrani disebut "sh'lamim", memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan korban bakaran atau korban penghapus dosa. Korban keselamatan dipersembahkan dalam rangka rasa syukur, sebagai ungkapan niat baik, atau sebagai bagian dari penepatan nazar. Keunikan utamanya terletak pada fakta bahwa sebagian dari korban ini dikonsumsi oleh orang yang mempersembahkannya, keluarganya, dan para imam. Hal ini menciptakan momen persekutuan yang intim antara umat, Tuhan, dan sesama.

Ayat 7:27 secara spesifik menekankan siapa saja yang berhak menikmati persembahan korban keselamatan ini. Disebutkan bahwa yang berhak adalah "ia yang mempersembahkan korban itu, atau kerabatnya yang terdekat". Ini menunjukkan adanya prinsip kebersamaan dan kekeluargaan dalam ibadah. Persembahan bukan hanya menjadi urusan individu, tetapi dapat dirayakan bersama orang-orang terkasih, mempererat ikatan keluarga di bawah naungan berkat Tuhan. Kebersamaan dalam menyantap korban keselamatan ini merefleksikan sukacita dan kepuasan yang didapat dari persekutuan dengan Tuhan.

Namun, ayat ini juga sangat tegas mengenai batasan. Frasa "tetapi yang tidak tahir tidak boleh makan dari korban keselamatan itu" memberikan peringatan yang jelas. Ketahiran di sini merujuk pada kondisi ritual dan moral. Siapapun yang berada dalam keadaan najis, baik karena sebab-sebab tertentu seperti menyentuh bangkai, mengalami penyakit kulit tertentu, atau karena pelanggaran hukum lainnya, dilarang untuk menyantap korban keselamatan. Ketidak tahiran ini dianggap dapat menodai kekudusan korban dan merusak persekutuan yang seharusnya suci.

Aturan ini menegaskan kembali prinsip kesucian yang senantiasa dijunjung tinggi dalam ibadah kepada Allah. Kehadiran Tuhan menuntut kesucian dari umat-Nya. Oleh karena itu, setiap aspek ibadah, termasuk konsumsi dari korban persembahan, harus dilakukan dengan penuh hormat dan dalam keadaan yang layak di hadapan Tuhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ibadah bukan sekadar tindakan lahiriah, tetapi melibatkan aspek internal, yaitu keadaan hati dan kesucian diri.

Dalam perspektif yang lebih luas, Imamat 7:27 mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kesucian dalam segala aspek kehidupan kita, terutama ketika kita berinteraksi dengan hal-hal yang kudus. Ini juga mengingatkan kita akan keindahan persekutuan yang dapat kita alami melalui Yesus Kristus, Sang Imam Agung kita, yang melalui korban-Nya yang sempurna, telah memungkinkan kita untuk memiliki persekutuan yang kekal dengan Bapa, tanpa terhalang oleh ketidak tahiran kita. Kita diundang untuk mengambil bagian dalam perjamuan kasih karunia-Nya dengan hati yang suci dan penuh syukur.