"Dan terjadilah, ketika aku ditinggikan suara dari tuanku, aku pergi, maka aku pergi dan melarikan diri ke luar."
Simbol Kesucian dan Ketekunan
Kisah Yusuf merupakan salah satu narasi paling dramatis dan sarat pelajaran dalam Kitab Kejadian. Di tengah lika-liku hidupnya, mulai dari pengkhianatan saudara kandung hingga perbudakan, Yusuf senantiasa menunjukkan integritas dan kesetiaan yang luar biasa. Salah satu momen ujian terberat yang dihadapinya terjadi saat ia diperbudak di rumah Potifar, seorang pejabat tinggi di Mesir.
Yusuf dipercaya oleh tuannya, Potifar, untuk mengurus segala sesuatu di rumahnya. Keberuntungan dan kesuksesan selalu menyertai segala apa yang dikerjakan Yusuf, membuat Potifar menempatkannya sebagai pengawas seluruh hartanya. Namun, keteguhan hati dan kesucian Yusuf diuji oleh istri Potifar, yang terus-menerus menggoda dan berusaha merayunya. Dalam situasi yang sangat rentan ini, Yusuf menunjukkan penolakan yang tegas.
Ayat Kejadian 39:18 merekam momen puncak dari penolakan Yusuf. Ia telah berulang kali diperhadapkan pada rayuan dan tekanan dari istri Potifar. Namun, Yusuf selalu berpegang pada prinsip dan kesetiaannya kepada Allah, serta rasa hormatnya kepada tuannya. Ketika situasi memburuk dan potensi bahaya mengintai, Yusuf memutuskan untuk bertindak.
Perkataan Yusuf, "Dan terjadilah, ketika aku ditinggikan suara dari tuanku, aku pergi, maka aku pergi dan melarikan diri ke luar," menggambarkan keputusan dramatisnya untuk segera meninggalkan tempat godaan tersebut. Kata "ditinggikan suara" bisa diartikan sebagai desakan, ancaman, atau bahkan momen di mana ia merasa potensi bahaya semakin nyata. Ia tidak hanya menolak secara verbal, tetapi juga secara fisik menjauh dari situasi yang mengancam kesuciannya.
Kisah Yusuf dan penolakannya yang tegas dalam Kejadian 39:18 memberikan pelajaran yang mendalam bagi setiap orang. Pertama, ini mengajarkan pentingnya menjaga integritas moral di hadapan godaan. Godaan bisa datang dalam berbagai bentuk, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Yusuf memilih untuk lari, sebuah tindakan yang mungkin dianggap pengecut oleh sebagian orang, namun merupakan kebijaksanaan dan keberanian untuk menghindari dosa dan kehancuran.
Kedua, kisah ini menegaskan bahwa kesetiaan kepada Allah dan prinsip-prinsip-Nya adalah prioritas utama. Yusuf memahami bahwa perbuatannya akan menjadi dosa terhadap Allah dan pelanggaran kepercayaan tuannya. Keputusannya untuk melarikan diri adalah manifestasi dari imannya yang mendalam dan ketakutannya akan Tuhan.
Ironisnya, meskipun telah bertindak benar, Yusuf justru difitnah oleh istri Potifar yang merasa malu dan marah karena penolakannya. Ia dijebloskan ke dalam penjara. Namun, Alkitab mencatat bahwa Tuhan menyertai Yusuf bahkan di dalam penjara, memberinya anugerah dan perkenanan. Ini mengajarkan bahwa jalan kebenaran tidak selalu mudah dan seringkali disertai penderitaan sementara. Namun, kesetiaan dan ketekunan pada akhirnya akan berbuah.
Kejadian 39:18 bukan sekadar pengingat akan kejahatan istri Potifar atau kezaliman yang menimpa Yusuf, melainkan sebuah saksi bisu akan kekuatan integritas, keberanian moral, dan kepercayaan penuh kepada Tuhan. Kisah ini terus menginspirasi banyak orang untuk berdiri teguh dalam prinsip-prinsip kebenaran, bahkan ketika dunia di sekitar mereka tampaknya tidak mendukung.