Surah Al-Baqarah: Keluaran 10 19

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: 'Wahai kaumku, mengapa kamu menyakiti aku, padahal kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?' Maka ketika mereka berpaling, Allah memalingkan hati mereka, dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."
Perjalanan Keyakinan Kisah Nabi Musa dan Ujian Iman

Ayat ke-10 dan 19 dari Surah Al-Baqarah ini membawa kita pada sebuah narasi penting mengenai hubungan antara Nabi Musa 'alaihissalam dengan kaumnya. Di dalamnya terkandung pelajaran berharga mengenai kesabaran, keteguhan iman, dan konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran ilahi. Kisah ini menjadi pengingat akan pentingnya merespon seruan kebaikan dan kebenaran dengan hati yang terbuka.

Perjuangan Dakwah Nabi Musa

Dalam ayat-ayat ini, kita melihat bagaimana Nabi Musa dengan penuh kesungguhan menyeru kaumnya untuk beriman dan mengikuti jalan Allah. Beliau berulang kali menyampaikan risalah, namun respons yang diterima seringkali adalah penolakan, keraguan, bahkan perlawanan. Ungkapan "mengapa kamu menyakiti aku, padahal kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?" menunjukkan betapa Nabi Musa merasakan kepedihan akibat perlakuan kaumnya. Ini bukan sekadar rasa sakit fisik, melainkan juga sakit hati karena ajakan kebaikan tidak dihargai.

Penting untuk dicatat bahwa kaumnya mengetahui bahwa Musa adalah utusan Allah. Pengetahuan ini seharusnya menjadi modal untuk menerima ajarannya, namun nyatanya tidak demikian. Ini menggambarkan sebuah kondisi yang lebih dalam, yaitu adanya keengganan untuk berubah atau ketakutan akan meninggalkan kebiasaan lama. Seringkali, ancaman yang paling besar bagi seseorang bukanlah ketidaktahuan, melainkan ketidakmauan untuk menerima kebenaran yang sudah diketahui.

Konsekuensi Penolakan Kebenaran

Ayat kedua mengungkapkan konsekuensi yang dihadapi oleh kaum yang menolak kebenaran. Ketika mereka berpaling dari seruan ilahi, maka Allah pun "memalingkan hati mereka." Ini adalah hukuman yang sangat berat, karena ketika hati seseorang telah dikunci oleh Allah, maka segala bentuk hidayah dan petunjuk akan sulit untuk masuk. Mereka terperangkap dalam kesesatan, tidak mampu melihat jalan yang benar, meskipun kebenaran itu telah dijelaskan dengan gamblang.

Frasa "Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik" menegaskan bahwa hidayah ilahi adalah sebuah anugerah yang diberikan kepada mereka yang berupaya mencari dan menerima kebenaran. Kefasikan, yaitu sikap durhaka dan melanggar perintah Allah, menjadi penghalang utama untuk mendapatkan bimbingan-Nya. Ini adalah pengingat bahwa pilihan untuk taat atau durhaka sepenuhnya ada pada diri manusia, dan pilihan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang, baik di dunia maupun di akhirat.

Pelajaran untuk Generasi Sekarang

Kisah Nabi Musa ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan sebuah pelajaran abadi bagi umat manusia. Di era modern ini, kita pun seringkali dihadapkan pada berbagai informasi dan ajakan, baik yang positif maupun negatif. Penting bagi kita untuk senantiasa menguji setiap informasi dan ajakan dengan timbangan kebenaran, serta mendekatinya dengan hati yang terbuka dan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah.

Ketika kita menyadari adanya kebenaran, hendaknya kita berani untuk menerimanya, meskipun mungkin itu berarti harus mengubah kebiasaan lama atau menghadapi tantangan. Sebaliknya, jika kita menemukan diri kita enggan atau menolak kebenaran, kita perlu introspeksi diri dan memohon petunjuk kepada Allah agar hati kita tidak dikunci. Dengan demikian, kita dapat terus berjalan di jalan yang diridhai dan senantiasa mendapatkan bimbingan-Nya di setiap langkah kehidupan.