"Barangsiapa melakukan kehendak-Nya, ia akan mendengar suara-Ku."
Kitab Keluaran, pasal 19 hingga 24, merupakan salah satu bagian paling krusial dalam Alkitab, mengisahkan momen-momen penting di Gunung Sinai. Di sinilah Allah menetapkan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel, memberikan hukum-hukum-Nya, dan membentuk mereka menjadi umat pilihan-Nya. Perikop ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan narasi mendalam tentang hubungan Allah dengan manusia, yang ditandai oleh kedaulatan ilahi dan respons manusiawi. Permulaan dari bagian ini, khususnya Keluaran 19, menggambarkan kedatangan bangsa Israel di padang gurun Sinai setelah keluar dari perbudakan Mesir. Gunung Sinai sendiri menjadi latar simbolis di mana Allah berdiam dan menyatakan diri-Nya dengan kuasa yang dahsyat, seperti gemuruh guntur, kilat, dan asap yang mengepul.
Kedatangan Allah di Sinai bukanlah tanpa persiapan. Allah memanggil Musa naik ke gunung untuk menerima instruksi-Nya. Seruan Allah ini menjadi panggilan kepada seluruh umat Israel untuk mendekat kepada-Nya, namun dengan cara yang telah ditentukan. Allah menegaskan bahwa kedekatan dengan Dia yang kudus memerlukan kekudusan dari pihak manusia. Bangsa Israel diperintahkan untuk menyucikan diri, membasuh pakaian mereka, dan menjauhi perempuan selama tiga hari. Penekanan pada penyucian ini menunjukkan bahwa berhadapan dengan Allah yang Maha Kudus bukanlah urusan sepele, melainkan membutuhkan kesiapan spiritual dan lahiriah. Ini adalah peringatan bahwa kehadiran Allah adalah sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab yang serius.
Puncak dari pertemuan ini adalah pemberian Sepuluh Perintah Allah (Dekalog) yang tercatat dalam Keluaran 20. Hukum-hukum ini menjadi dasar bagi moralitas dan sistem keadilan bangsa Israel, serta menjadi fondasi etika yang mendalam bagi banyak peradaban. Sepuluh Perintah ini mencakup hubungan vertikal dengan Allah (kasih kepada Allah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (kasih kepada sesama). Ketaatan terhadap hukum-hukum ini adalah syarat utama dari perjanjian yang ditawarkan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian yang Allah bangun bukan hanya bersifat simbolis, tetapi memiliki implikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari umat-Nya.
Selanjutnya, Keluaran 21-23 merinci berbagai peraturan sipil dan hukum adat yang harus dijalankan oleh bangsa Israel. Peraturan-peraturan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari kepemilikan budak, ganti rugi atas kerusakan, hingga peringatan terhadap penindasan terhadap orang asing dan janda. Semua hukum ini dirancang untuk menciptakan masyarakat yang adil, tertib, dan mencerminkan karakter Allah yang adil dan penuh kasih. Allah tidak hanya memberikan tuntunan rohani, tetapi juga memberikan arahan konkret untuk kehidupan sosial mereka, menunjukkan perhatian-Nya yang menyeluruh terhadap kesejahteraan umat-Nya.
Menjelang akhir bagian ini, dalam Keluaran 24, Musa membacakan kembali seluruh perkataan Allah kepada bangsa Israel. Respon bangsa Israel adalah deklarasi tegas: "Segala firman yang diucapkan TUHAN akan kami lakukan." Deklarasi ini menjadi momen pengesahan perjanjian. Musa kemudian mempersembahkan korban bakaran dan korban perdamaian kepada TUHAN, memercikkan darah korban ke atas mezbah dan ke atas umat Israel sebagai tanda pengikatan perjanjian. Tindakan ini menegaskan bahwa perjanjian dengan Allah melibatkan pengorbanan dan penerimaan tanggung jawab. Bagian ini berakhir dengan Musa dan para tua-tua naik ke gunung untuk melihat kemuliaan Allah, menegaskan kembali bahwa setiap orang yang melakukan kehendak-Nya akan mendengar suara-Nya dan mengalami persekutuan dengan-Nya, meski dalam keterbatasan pemahaman manusia. Perikop Keluaran 19-24 memberikan gambaran abadi tentang sifat Allah yang kudus, kasih-Nya yang besar, dan harapan-Nya agar umat-Nya hidup dalam ketaatan dan kebenaran.