"TUHAN berbicara kepada Musa di gunung Sinai, katanya: 'Bicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Dari hartamudalah kamu harus mempersembahkan persembahan khusus kepada TUHAN; setiap orang yang terdorong oleh hatinya, baik laki-laki maupun perempuan, harus membawanya persembahan khusus."
Bagian dari kitab Keluaran 25 hingga 33 menceritakan sebuah periode krusial dalam sejarah bangsa Israel setelah mereka berhasil keluar dari perbudakan di Mesir. Peristiwa-peristiwa yang tercatat di sini bukan sekadar rangkaian kejadian historis, melainkan fondasi spiritual dan sosial yang membentuk identitas mereka sebagai umat pilihan. Fokus utama dari pasal-pasal ini adalah mengenai perintah-perintah pembangunan Kemah Suci dan penetapan hukum-hukum yang mengikat hubungan antara Allah dan umat-Nya, serta antara sesama umat.
Memasuki pasal 25, Allah mulai memberikan instruksi terperinci kepada Musa mengenai pembangunan Kemah Suci (Tabernakel). Ini bukan sekadar bangunan fisik, melainkan tempat pertemuan antara Allah dan manusia. Allah memerintahkan agar umat Israel mempersembahkan harta benda mereka secara sukarela untuk membangun tempat kediaman-Nya di tengah-tengah mereka. Perintah ini mencakup detail mengenai tabut perjanjian, kaki pelita, mezbah pembakaran korban bakaran, dan pelataran. Setiap elemen memiliki makna simbolis yang mendalam, mengajarkan tentang kesucian Allah, pengampunan dosa, dan kehadiran-Nya yang kekal. Perintah untuk mengumpulkan persembahan khusus ini mengajarkan tentang pentingnya partisipasi aktif dan kerelaan hati dalam pekerjaan ilahi.
Saat kita beralih ke pasal-pasal berikutnya, seperti Keluaran 26 dan 27, fokus bergeser pada detail konstruksi yang lebih rumit. Pembuatan tirai-tirai dari linen halus, permadani kambing, dan kulit domba yang dicelup menunjukkan ketelitian dan kemegahan yang diinginkan untuk rumah Tuhan. Termasuk pula pembuatan mezbah korban bakaran yang terbuat dari tembaga, dan sebuah kolam pembasuhan. Ini semua adalah persiapan yang sangat teliti, mencerminkan keagungan Allah yang harus disambut dengan sesuatu yang terbaik dari umat-Nya. Kehidupan bangsa Israel saat itu masih dalam perjalanan, dan Kemah Suci menjadi pusat dari perkemahan mereka, sebuah pengingat konstan akan kehadiran Allah di setiap langkah mereka.
Pasal Keluaran 28 hingga 31 membahas mengenai pakaian imam dan upacara penahbisan mereka. Harun dan anak-anaknya ditetapkan sebagai imam, yang bertugas untuk melayani di hadapan Tuhan dan menjadi perantara antara Allah dan umat-Nya. Pakaian imam dibuat dengan sangat indah dan kaya, melambangkan kemuliaan dan otoritas yang mereka bawa. Termasuk di dalamnya efod, peti kebesaran, jubah, dan tatahan berlapis emas. Allah juga memerintahkan upacara penahbisan yang melibatkan pengurapan dengan minyak dan persembahan khusus. Ini menunjukkan betapa seriusnya peran imamat dalam ibadah dan kehidupan rohani bangsa Israel.
Namun, di tengah semua perintah ilahi yang agung dan rinci ini, muncul peristiwa yang sangat dramatis dalam Keluaran 32. Saat Musa berada di gunung Sinai untuk menerima loh-loh batu hukum, umat Israel yang gelisah membuat anak lembu emas dan menyembahnya. Perbuatan ini merupakan pelanggaran berat terhadap perintah pertama, yaitu larangan menyembah ilah lain. Kemarahan Allah pun bangkit terhadap mereka, dan hanya melalui perantaraan Musa, umat itu diselamatkan dari kehancuran total. Pasal ini mengajarkan tentang kerapuhan hati manusia dan kecenderungan untuk jatuh dalam penyembahan berhala, bahkan setelah mengalami pengalaman penyelamatan ilahi yang luar biasa.
Menyusul peristiwa memilukan ini, pasal Keluaran 33 menunjukkan reaksi Allah yang berbeda. Meskipun murka, Allah menunjukkan kasih karunia-Nya kepada Musa dan umat yang menyesal. Musa kembali berdialog dengan Allah, memohon agar kehadiran Allah tetap bersama mereka dalam perjalanan mereka. Allah berjanji untuk tidak meninggalkan mereka, tetapi juga menegaskan bahwa kesucian-Nya tidak memungkinkan dosa untuk hadir begitu saja. Pasal ini berakhir dengan sebuah permohonan Musa untuk melihat kemuliaan Allah, yang dijawab oleh Allah dengan menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari kemuliaan-Nya yang dapat dilihat manusia, dan bahwa kasih karunia-Nya cukup bagi mereka. Kisah-kisah dalam Keluaran 25-33 ini secara keseluruhan menyajikan gambaran tentang upaya Allah untuk tinggal bersama umat-Nya, menetapkan standar kesucian-Nya, dan bagaimana manusia harus menanggapi panggilan-Nya dengan iman, ketaatan, dan kerendahan hati, sambil menyadari kerapuhan diri.